BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1.
Kecerdasan
Emosional
Kata emosi berasal dari bahasa latin,
yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa
kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel
Goleman (2004 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas,
suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk
bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi
merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai
contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga
secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku
menangis.
Beberapa
tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut
Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow
(sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB
Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta).
Menurut Mayer (Goleman, 2004 :
65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi
mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan
melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan
emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang
di jalani menjadi sia-sia.
Seperti
yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya
adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong
individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang
ada.
Istilah “kecerdasan emosional”
pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari
Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi
keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan
kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai “Suatu kecerdasan
emosional yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau baik
emosi-dirinya dengan emosi orang lain, dimana kemampuan ini digunakan untuk
mengarahkan pola pikir dan prilakunya.”(Mubayidh, 2006:15).
Menurut
Goleman (2004 : 512), kecerdasan
emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan
inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga
keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and
its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri,
motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
Dari beberapa pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan
emosional atau EQ meliputi kecerdasan sosial dan menekankan pada pengaruh emosi
pada kemampuan melihat situasi secara objektif dan memahami diri sendiri dan
orang lain. Inilah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif
menggunakan kekuatan emosi, disalurkan sebagai sumber energi, kreativitas, dan
pengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, di tempat kerja atau dalam
berhubungan dengan orang lain. Emosi sendiri adalah sumber energi dari manusia,
aspirasi dan dorongan, membangkitkan perasaan terdalam dan tujuan hidup, dan
mentransformasikannya dari apa yang kita pikirkan menuju menghargai hidup kita.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah menyangkut pengambilan
keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya dan sering kali
lebih penting daripada nalar. Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ
dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang
berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang
membuat kita menjadi lebih manusiawi.
Kecerdasan akademis sedikit
kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok
ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan
IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka.
Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak
atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi
tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.
Orang
dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia
akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang
mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali
tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang
merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada
karir/pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
Kecerdasan ditunjukan dengan
toleransi, empati dan kasih sayang kepada orang lain, kemampuan untuk
memverbalkan perasaan secara akurat dan penuh integritas, dan dapat mengatasi
kesedihan emosional. Inilah alasan mengapa EQ jauh lebih penting daripada
IQ untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan.
2. Komponen Kecerdasan Emosional
Menurut
Goleman (2003) dalam Nuraini (2007) terdapat lima dimensi atau komponen kecerdasan
emosional (EQ) yaitu:
a.
Pengenalan diri (Self awareness),
b.
Pengendalian diri (self regulation),
c.
Motivasi (motivation),
d.
Empati (empathy),
e. Keterampilan sosial (Social skills).
Berikut
ini dijelaskan masing-masing dari komponen kecerdasan emosional
a. Pengenalan Diri
Gea
et al. (2002) (dalam Melandy dan Aziza, 2006), mengenal diri berarti memahami
kekhasan fisiknya, kepribadian, watak dan temperamennya, mengenal bakat-bakat
alamiah yang dimilikinya serta punya gambaran atau konsep yang jelas tentang
diri sendiri dengan segala kesulitan dan kelemahannya. Ada beberapa cara untuk mengembangkan
kekuatan dan kelemahan dalam pengenalan diri yaitu introspeksi diri,
mengendalikan diri, membangun kepercayaan diri, mengenal dan mengambil
inspirasi dari tokoh-tokoh teladan, dan berpikir positif dan optimis tentang
diri sendiri.
b. Pengendalian
Diri
Menurut Goleman (2000) (dalam Nuraini, 2007) Pengendalian diri merupakan
sikap hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijakan
yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan emosi, bukan menekan
emosi, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap
terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang
meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita
(Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri
sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan
akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari
perasaan-perasaan yang menekan.
c. Motivasi
Menurut
Goleman (2000) (dalam Nuraini, 2007) Motivasi didefinisikan sebagai suatu
konsep yang digunakan jika menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap
diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku atau segala sikap yang
menjadi pendorong timbulnya suatu perilaku. Motivator yang paling berdaya guna
adalah motivator dari dalam, bukan dari luar. Keinginan untuk maju dari dalam
diri mahasiswa akan menimbulkan semangat dalam meningkatkan kualitas mereka. Para mahasiswa yang memiliki upaya untuk meningkatkan
diri akan menunjukkan semangat juang yang tinggi ke arah
d. Empati
Menurut Goleman (2000) (dalam Nuraini, 2007) Empati adalah perasaan
simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman
atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Empati atau
mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika
seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan
terampil membaca perasaan orang lain. Orang yang memiliki empati yang tinggi
akan lebih mampu membaca perasaan dirinya dan orang lain yang akan berakibat
pada peningkatan kualitas belajar sehingga akan tercipta suatu pemahaman yang
baik tentang akuntansi. penyempurnaan diri yang merupakan inti dari motivasi
untuk meraih prestasi.
e. Keterampilan
sosial
Menurut
Jones (1996) (dalam Melandy dan Aziza, 2006), kemampuan membina hubungan dengan
orang lain adalah serangkaian pilihan yang dapat membuat anda mampu
berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berhubungan dengan anda atau
orang lain yang ingin anda hubungi. Dalam hubungannya dengan dunia kampus,
ketrampilan sosial dapat dilihat dari sinkronisasi antara dosen dan mahasiswa
yang menunjukkan seberapa jauh hubungan yang mereka rasakan, studi-studi di
kelas membuktikan bahwa semakin erat koordinasi gerak antara dosen dan
mahasiswa, semakin besar perasaan bersahabat, bahagia, antusias, adanya
keterbukaan ketika melakukan interaksi. Perasaan bersahabat antara dosen dan
mahasiswa akan menciptakan sebuah interaksi yang efektif dalam rangka pemahaman
di bidang akuntansi.
3. Kepercayaan Diri
Menurut Goleman
(2003) (dalam Rissyo dan Aziza, 2006), kepercayaan diri adalah kesadaran yang
kuat tentang harga dan kemampuan diri sendiri. Orang dengan kecakapan ini akan
berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan keberadaannya, berani
menyuarakan pandangan yang tidak popular dan bersedia berkorban demi kebenaran
serta tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan tidak
pasti dan tertekan.
Menurut
Hasan (dalam Iswidharmanjaya, 2004:13) percaya diri adalah “kepercayaan akan
kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki serta
dapat memanfaatkannya secara tepat”.
Setiap orang memerlukan percaya diri, karena
dengan adanya rasa percaya diri maka seseorang itu akan memiliki keyakinan
dengan kemampuaannya didalam menyelesaiakan suatu pekerjaan. Percaya diri
merupakan sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk
mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi
yang dihadapinya.
Secara normal bisa dikatakan bahwa
semua orang ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Ini misalnya
terkait dengan apabila rasa percaya
diri dijadikan sebagai salah satu aspek yang penting dalam proses belajar. Mahasiswa yang kepercayaan dirinya bagus
akan cenderung berkesimpulan bahwa dirinya “lebih besar” dari masalahnya
sehingga akan akan lebih mungkin memiliki prestasi yang baik. Sebaliknya, orang
yang punya kepercayaan diri rendah akan cenderung berkesimpulan bahwa
masalahnya jauh lebih besar dari dirinya. Hanya
memang ada satu hal yang perlu kita waspadai bahwa ada beberapa sisi-sisi
negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi itu. Sisi-sisi negatif ini perlu
kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang
merugikan atau merusak.
Menurut Lauster (2003) (dalam Rissyo
dan Aziza, 2006), kepercayaan
pada diri sendiri yang sangat berlebihan tidak selalu berarti sifat yang
positif. Ini umumnya dapat menjurus pada usaha tak kenal lelah. Seseorang yang
bertindak dengan kepercayaan diri sendiri yang berlebihan, sering memberikan
kesan kejam dan lebih banyak punya lawan dari pada teman.
Rasa percaya diri yang kuat
sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu
tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa
dia bisa, karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta
harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Bagi mereka yang kurang percaya
diri, setiap kegagalan mempertegas rasa tidak mampu mereka. Tidak adanya
percaya diri dapat mewujud dalam bentuk rasa putus asa, rasa tidak berdaya, dan
meningkatkan keraguan kepada diri sendiri. Di pihak lain, percaya diri
berlebihan dapat membuat orang tampak sombong, terutama bila ia tidak mempunyai
ketrampilan sosial.
Orang yang memiliki rasa percaya
diri umumnya memandang diri sendiri sebagai orang yang produktif, mampu
menghadapi tantangan dan mudah menguasai pekerjaan atau keterampilan baru.
Mereka mempercayai diri sendiri sebagai katalisator, penggerak dan pelopor,
serta merasa bahwa kemampuan-kemampuan mereka lebih unggul dibanding kebanyakan
orang lain.
0 komentar:
Post a Comment