BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Kerangka Teori
1.
Persepsi
Dalam memandang suatu
permasalahan setiap orang mempunyai persepsi yang berbeda-beda. Persepsi
seseorang timbul dari dalam diri masing-masing individu. Pengetian persepsi
merupakan proses untuk memahami lingkungannya meliputi objek, orang, dan simbol
atau tanda yang melibatkan proses kognitif (pengenalan). Proses kognitif adalah
proses dimana individu memberikan arti melalui penafsirannya terhadap
rangsangan (stimulus) yang muncul dari objek, orang, dan simbol tertentu.
Ikhsan dan Ishak (2005: 57)
menyatakan bahwa ”persepsi merupakan pengalaman tentang objek atau
hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan
pesan”.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi menurut Ikhsan dan Ishak (2005: 57)adalah:
1. Faktor pada pemersepsi, yaitu sikap,
motif, kepentingan, dan pengharapan.
2. Faktor pada target, yaitu hal baru,
gerakan, bunyi, ukuran, latar belakang, dan kedekatan.
3. Faktor dalam situasi, yaitu waktu, keadaan
atau tempat kerja, dan keadaan sosial.
Menurut Walgito (1997: 53)
dalam Martadi dan Suranta (2006) agar individu dapat menyadari dan dapat
membuat persepsi, maka ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu berikut
ini:
a. Adanya objek yang dipersepsikan (fisik).
b. Adanya alat indera/reseptor untuk menerima
stimulus (fisiologis).
c. Adanya perhatian yang merupakan langkah
pertama dalam mengadakan
persepsi (psikologis).
Dalam kamus besar Indonesia
(1995) mendefinisikan persepsi sebagai tanggapan (penerimaan) langsung dari
sesuatu atau merupakan proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca
indranya. Dari definisi di atas, maka pengertian persepsi dalam penelitian ini adalah
pengalaman tentang obyek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh
dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
2.
Etika
Sasaran etika adalah
moralitas, karena etika merupakan filsafat tentang moral atau sistem atau kode
berperilaku yang mengikutinya. Etika sebagai bidang studi menentukan standar
untuk membedakan antara karakter yang baik dan tidak baik atau dengan kata lain
etika adalah merupakan studi normatif tentang berbagai prinsip yang mendasari
tipe-tipe tindakan manusia. Sedangkan moralitas adalah istilah yang dipakai
untuk mencakup praktek dan kegiatan yang membedakan apa yang baik dan apa yang
buruk, aturan-aturan yang mengendalikan kegiatan itu dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya.
Di Indonesia etika
diterjemahkan menjadi kesusilaan yang berasal dari bahasa Sansekerta. Susila
dalam bahasa Sansekerta berarti dasar, prinsip, atau peraturan hidup (sila),
sedangkan kata su berarti lebih baik. (Simorangkir, 2003:156)
Menurut Simorangkir (2003:3)
etika pada umumnya didefinisikan sebagai suatu usaha yang sistematis dengan
menggunakan rasio untuk menafsirkan pengalaman moral individual sosial sehingga
mampu menetapkan aturan untuk mengendalikan perilaku manusia serta nilai-nilai
yang berbobot untuk dijadikan sasaran kehidupannya.
Sedangkan menurut Keraf
(1998:14) etika secara harfiah berasal dari kata Yunani ethos (jamaknya: ta etha),
yang artinya ’adat kebiasaan’ atau ’kebiasaan’. Menurut Keraf (1998:32) etika
dapat dibagi menjadi dua, yaitu sebagai berikut:
1. Etika umum
Etika umum berbicara mengenai norma dan sikap
moral, kondisi-kondisi dasar bagi manusia untuk bertindak secara etis, bagaimana
manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral
dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak, serta tolok ukur
dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan. Etika umum dapat dianalogkan
dengan ilmu pengetahuan, yang membahas mengenai pengertian umum dan
teori-teori.
2. Etika khusus
Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip
moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dapat dibagi
menjadi tiga, yaitu:
a. Etika individual, menyangkut kewajiban dan
sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Salah satu prinsip yang secara khusus
relevan dalam etika individual ini adalah prinsip integritas pribadi, yang
berbicara mengenai perilaku individual tertentu dalam rangka menjaga dan
mempertahankan nama baiknya sebagai pribadi moral.
b. Etika sosial, berkaitan dengan kewajiban dan
hak, sikap dan pola perilaku manusia sebagai makhluk sosial dalam interaksinya
dengan sesamanya. Etika sosial mencakup etika profesi dan di dalamnya terdapat
etika bisnis. Etika profesi lebih menekankan kepada tuntutan terhadap profesi
seseorang, dimana tuntutan itu menyangkut tidak saja dalam hal keahlian,
melainkan juga adanya komitmen moral: tanggung jawab, keseriusan, disiplin, dan
integritas moral.
c. Etika lingkungan hidup, berbicara mengenai
hubungan antara manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok dengan
lingkungan alam yang lebih luas dalam totalitasnya, dan juga hubungan antara
manusia yang satu dengan manusia yang lainnya yang berdampak langsung atau tidak
langsung pada lingkungan hidup secara keseluruhan.
Dari beberapa definisi di atas
dapat disimpulkan bahwa etika merupakan seperangkat aturan/norma/pedoman yang
mengatur perilaku manusia, baik yang harus dilakukan maupun yang harus
ditinggalkan.
3.
Gender
Kata “gender” berasal dari bahasa Inggris, yang
berarti “jenis kelamin”, dimana sebenarnya artinya kurang tepat, karena dengan
demikian gender disamakan pengertiannya dengan sex yang berarti jenis kelamin.
Dalam Women’s Studies Encyclopedia
dijelaskan bahwa gender adalah konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku,
mentalitas, dan karakteristik emosional laki-laki dan perempuan yang berkembang
dalam masyarakat (Umar dalam Martadi dan Suranta, 2006).
Konsep gender yakni suatu
sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi
secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu dikenal lemah
lembut, cantik, emosional, atau keibuan, sementara laki-laki dianggap kuat,
rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut,
keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan
ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat lain (Fakih dalam Martadi dan Suranta, 2006)
Terbentuknya perbedaan gender
dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya akibat dibentuk, disosialisasikan,
diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial, kultural, atau melalui ajaran
agama maupun negara. Perbedaan gender ini sebenarnya tidak menjadi masalah
sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Dalam kenyataannya, perbedaan
gender telah menyebabkan berbagai ketidakadilan baik bagi pria maupun wanita.
Ketidakadilan gender tersebut termanifestasi dalam berbagai bentuk
ketidakadilan, misalnya marginalisasi, proses pemiskinan ekonomi, subordinasi
pengambilan keputusan, stereotyping dan diskriminasi, pelabelan negatif,
kekerasan, bekerja untuk waktu yang lebih lama dan memikul beban ganda
(Muthali’in,2001:33).
Ameen & Millanl (1996)
dalam Rianto (2008) menyatakan ada dua alternatif penjelasan mengenai perbedaan
gender tentang perilaku tidak etis dalam bisnis. Pendekatan tersebut adalah
pendekatan sosialisasi gender (gender
sosialization approach) dan pendekatan struktural (structural approach).
Pendekatan sosialisasi gender
menyatakan bahwa pria dan wanita membawa perbedaan nilai dan perlakuan dalam
pekerjaannya. Perbedaan ini disebabkan karena pria dan wanita mengembangkan
bidang peminatan, keputusan dan praktik yang berbeda yang berhubungan dengan
pekerjaannya. Pria dan wanita
merespon secara berbeda tentang reward
dan cost. Pria akan mencari
kesuksesan kompetitif dan bila perlu melanggar aturan untuk mencapainya. Sedangkan
wanita lebih menekankan pada melakukan tugasnya dengan baik dan lebih
mementingkan harmonisasi dalam relasi pekerjaan. Wanita lebih condong taat pada peraturan dan
kurang toleran dengan individu yang melanggar aturan.
Sedangkan dalam pendekatan
struktural, perbedaan antara pria dan wanita lebih disebabkan karena
sosialisasi awal dan persyaratan peran. Sosialisasi awal diatasi dengan reward dan cost yang berhubungan dengan
peran. Pada situasi ini pria dan wanita merespon secara sama. Pada pendekatan
ini memprediksi bahwa pria dan wanita dalam kesempatan atau pelatihan akan
menunjukkan prioritas etika yang sama.
Dari beberapa definisi di atas
maka dapat disimpulkan bahwa gender merupakan pembedaan peran, hak dan
kewajiban, kuasa dan kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan
bermasyarakat.
4.
Akuntan
Informasi akuntansi dari suatu
perusahaan sangat dibutuhkan oleh pihak internal maupun eksternal perusahaan
yang digunakan oleh pihak manajemen perusahaan juga dimanfaatkan oleh pemilik
perusahaan untuk menilai pengelolaan dana yang dilakukan oleh manajemen
perusahaan. Dalam era globalisasi, akuntan dituntut tidak sekedar sebagai
pemeriksa laporan keuangan saja tetapi juga mempunyai kecanggihan profesi di
bidang non auditing.
Menurut Soemarso (2004:6)
secara garis besar profesi akuntan dapat dikelompokkan menjadi empat bagian
yaitu:
1. Akuntan publik (public accountants) adalah akuntan independen yang memberikan
jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Mereka bekerja secara bebas, pada
umumnya mendirikan suatu kantor akuntan. Termasuk akuntan publik adalah akuntan
yang bekerja pada kantor tadi. Untuk dapat berpraktik sebagai akuntan dan
mendirikan kantor akunta, seseorang harus mendapat izin dari Departemen
Keuangan RI. Seorang akuntan publik dapat memberikan jasa pemeriksaan (audit), jasa perpajakan (tax services), jasa konsultasi
manajemen (management advisory services),
dan jasa akuntansi (accounting services).
2. Akuntan manajemen atau akuntan intern (management accountants) adalah akuntan
yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi. Jabatan yang bisa diduduki
mulai dari staf biasa sampai dengan kepala bagian akuntansi, controller atau direktur keuangan. Tugas
yang dikerjakan dapat berupa penyusunan sistem akuntansi, penyusunan laporan
akuntansi kepada pihak-pihak diluar perusahaan, penyusunan laporan keuangan
kepada managemen, penyusunan anggaran, menangani masalah perpajakan, dan
melakukan peemriksaan intern. Untuk menjadi akuntan intern tidak diperlukan
syarat-syarat khusus.
3. Akuntan pemerintah (government accountants) adalah akuntan yang bekerja pada
badan-badan Pemerintah, seperti di departemen-departemen, Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan Pengawas Keuangan (BPK), Ditertorat
Jenderal Pajak, dll.
4. Akuntan pendidik adalah akuntan yang
bekerja sebagai pendidik. Akuntan pendidik terutama bertugas dalam pendidikan
akuntansi, yaitu mengajar, menyusun kurikulum pendidikan akuntansi, dan
melakukan penelitian di bidang akuntansi.
5.
Etika Penyusunan Laporan Keuangan
Pengertian laporan keuangan
menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2002) adalah:
Laporan keuangan merupakan bagian dari proses
pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca,
laporan laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan yang dapat disajikan dalam
berbagai cara misalnya, sebagai laporan arus kas, atau laporan arus kas dana
catatan dari laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian
integral dari laporan keuangan. Disamping itu juga termasuk skedul dan
informasi tambahan yang berkaitan dengan laporan tersebut, misalnya informasi
keuangan segmen industri dan geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan
harga.
Aliminsyah dan Padji (2003:
225) menyatakan bahwa ”laporan keuangan adalah laporan yang dirancang untuk
para pembuat keputusan baik di dalam maupun di luar perusahaan, mengenai posisi
keuangan dan hasil usaha perusahaan”.
Yulianti dan Fitriany (2005)
menyebutkan bahwa etika penyusunan laporan keuangan terbagi atas empat indikator
yaitu:
a.
Kecenderungan
untuk melakukan salah saji dalam laporan keuangan (misstate)
Kecenderungan salah saji
laporan keuangan yang selektif dikemukakan oleh Revsine dalam Riahi dan
Belkaoui (2006: 71-72), menyatakan bahwa ”masalah ini bukanlah merupakan
insedental, melainkan hasil dari aturan-aturan pelaporan yang fleksibel dan
menyusun yang disebarluaskan oleh penyusun standar ayng telah ditangkap oleh
subjek yang dimaksudkan dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam proses
pelaporan keuangan”. Salah saji dalam lpaoran keuangan secara selektif diasumsikan
melintasi kedua sektor publik dan pribadi, karen apara partisipan di kedua
sektor tersebut dimotivasi untuk mendukung standar-standar yang secara selektif
membuat salah saji dari realitas ekonomi ketika hal tersebut sesuai dengan
tujuan mereka.
b.
Pengungkapan
informasi dalam laporan keuangan (disclosure)
Aliminsyah dan Padji (2003:
58) menyatakan bahwa ”pengungkapan laporan keuangan (disclosure) merupakan pembeberan suatu fakta atau kondisi secara
tertulis, dicantumkan pada posisi bawah (foot
note) dari suatu neraca, laporan keuangan atau di dalam teks laporan
akuntan”.
Pengungkapan mengharuskan
laporan keuangan dirancang dan disusun untuk menggambarkan secara akurat
kejadian-kejadian ekonomi yang telah mempengaruhi perusahaan selama periode
berjalan agar mengandung informasi yang mencukupi supaya membuatnya berguna dan
tidak menyesatkan investor. Prinsip pengungkapan mengimplikasikan bahwa tidak
ada informasi atau substansi atau kepentingan bagi investor yang akan
dihilanhakn atau disembunyikan.
c.
Beban
dan manfaat dari pengungkapan laporan keuangan (cost benefit)
Pengertian cost benefit menurut Vernon Kam dalan
Siallagan (2008) adalah perbandingan antara penuruan nilai aktiva atau kenaikan
nilai hutang akibat penggunaan barang atau jasa dalam kegiatan utama perusahaan
terhadap ahsil yang diterima dari biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan.
Perkiraan cost benefit yang
menggambarkan posisi keuangan di masa yang akan datang dapat digunakan sebagai
alat kontrol dalam pengendalian biaya untuk memudahkan dalam mencapai tujuan
usaha. Sehingga, sebelum menyiapkan dan menyebarkan informasi laporan keuangan,
biaya dan manfaat dari penyediaan informasi terseburt harus diperbandingkan.
d.
Tanggung
jawab untuk menyajikan laporan keuangan yang informatif kepada penggunanya (responsibility)
Dalam kamus besar Indonesia (2005)
mendefinisikan tanggung jawab sebagai keadaan wajib menanggung segala
sesuatunya (kalauterjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan,, diperkirakan
dsb). Sedangkan menurut Bartens (2000: 289-295) menyatakan bahwa setiap
perusahaan memiliki tanggung jawab dalam menjalankan kegiatannya. Tanggung
jawab itu dapat berupa tanggung jawab sosial, tangung jawab legal, tanggung
jawab moral perusahaan dan atnggung jawab ekonomi.
B. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang berkaitan dengan Persepsi Akuntan
di Pandang Dari Segi Gender Terhadap Etika Penyusunan Laporan Keuangan
diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Yulianti dan Fitriany (2005) yang meneliti
tentang Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Etika Penyusunan Laporan
Keuangan. Penelitian ini dimaksudkan untuk melihat persepsi mahasiswa akuntansi
terhadap manajemen laba, misstate
(kecenderungan untuk melakukan salah saji dalam laporan keuangan), disclosure (pengungkapan laporan
keuangan), cost-benefit (beban dan
manfaat dari pengungkapan laporan keuangan) dan responsibility (tanggung jawab untuk menyajikan laporan keuangan).
Sampel pada penelitian ini terdiri atas mahasiswa jurusan Akuntansi program S1
Reguler, mahasiswa Diploma III Akuntansi, mahasiswa program Ekstension
Akuntansi, dan mahasiswa program Profesi Akuntansi. Alat uji yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Mann Whitney
U Test dengan indikator manajemen laba, misstate,
disclosure, cost & benefit dan
responsibility. Pada
taraf signifikansi 0,05 diketahui bahwa perbedaan respon antara pria dan wanita
untuk manajemen laba adalah sebesar 0,3020 atau 5%. Pada taraf signifikansi 5%
perbedaan respon pria dan wanita untuk faktor misstate 0,24, untuk faktor disclosure
sebesar 0,16, untuk faktor cost benefit
sebesar 0,06 dan untuk faktor responsibility
sebesar 0,20. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa mahasiswa pria lebih
menolak manajemen laba dibandingkan wanita serta tidak terdapat perbedaan yang
signiffikan antara mahasiswa pria dan wanita mengenai faktor-faktor misstate, disclosure, cost & benefit dan responsibility.
Nurita dan Radianto (2008) juga melakukan
penelitian tentang Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Etika Penyusunan
Laporan Keuangan. Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa semester satu
yang belum mengambil mata kuliah pendidikan etika dan mahasiswa tingkat akhir
yang sudah mengambil mata kuliah etika di sebuah perguruan tinggi di
Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan alat uji Mann
Whitney U Test dengan indikator misstate,
disclosure, cost & benefit dan
responsibility. Hasil pengujian menunjukkan nilai p-value sebesar 0,262
pada taraf signifikansi 0,05. Hasil tersebut menunjukkan bahwa memang terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan mengenai penyajian laporan keuangan antara
mahasiswa yang sudah mengambil mata kuliah pendidikan etika dengan mahasiswa
yang belum mengambil mata kuliah pendidikan etika.
Penelitian yang dilakukan oleh Arvita Rianto
(2008) adalah tentang Analisis Sensitivitas Etis Mahasiswa Akuntansi UII
Yogyakarta. Sampel pada penelitian ini adalah mahasiswa akuntansi semester awal
dan semester akhir di Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Alat uji yang
digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik Indenpendent-Samples T Test. Berdasarkan hasil Uji-T dapat
diketahui nilai signifikansi sebesar t-hitung 10,235 dengan probabilitas
sebesar 0,000 atau nilai probabilitas kurang dari 0,05. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa memang benar terdapat perbedaan sensitivitas etis secara
signifikan antara mahasiswa akuntansi pria dan mahasiswa akuntansi wanita.
Penelitian
yang dilakukan oleh Indiana Farid Martadi dan Sri Suranta (2006) meneliti
tentang Persepsi Akuntan, Mahasiswa Akuntansi, dan Karyawan Bagian Akuntansi
Dipandang Dari Segi Gender Terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi (Studi di
Wilayah Surakarta). Sampel pada penelitian ini terdiri atas mahasiswa akuntansi
perguruan tinggi se-Surakarta yang telah menempuh atau sedang menempuh mata
kuliah komunikasi bisnis, akuntan pendidik (dosen) tetap yang bekerja di
perguruan tinggi negeri maupun perguruan tinggi swasta se-Surakarta dengan masa
kerja minimal 2 (dua) tahun, akuntan publik yang bekerja di KAP (Kantor Akuntan
Publik) se-Surakarta dan memiliki pengalaman mengaudit minimal selama 2 (dua)
tahun serta karyawan bagian akuntansi dari perusahaan yang pernah diaudit oleh
kantor akuntan publik dan telah memiliki masa kerja minimal 2 (dua) tahun. Alat
uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji statistik Indenpendent-Samples T Test.
Berdasarkan hasil uji hipotesis persepsi responden
dipandang dari segi gender terhadap etika bisnis dapat diketahui bahwa p-value
untuk akuntan sebesar 0,128 lebih besar dari 0,05, p-value untuk mahasiswa sebesar 0,273 lebih besar 0,05, dan p-value untuk karyawan bagian akuntansi sebesar 0,753 lebh besar dari 0,05.
Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi yang signifikan
antara akuntan pria, mahasiswa akuntansi, dan karyawan bagian akuntansi dengan
akuntan wanita, mahasiswi akuntansi, dan
karyawan bagian akuntansi terhadap etika
bisnis. Berdasarkan hasil uji hipotesis persepsi responden terhadap
etika profesi juga dapat diketahui p-value
untuk akuntan sebesar 0,705 lebih besar 0,05, p-value untuk mahasiswa sebesar 0,460 lebih besar 0,05, dan p-value untuk karyawan bagian akuntansi
sebesar 0,022 lebih kecil 0,05. Hasil ini menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan persepsi yang signifikan antara akuntan pria dan mahasiswa akuntansi
dengan akuntan wanita dan mahasiswi akuntansi terhadapa etika profesi.
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat perbedaan persepsi yang
signifikan antara karyawan bagian akuntansi pria dengan karyawan bagian
akuntansi wanita terhadap etika profesi.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan replikasi
dari penelitian Yulianti dan Fitriany (2005) dan Nurita dan Radianto (2008)
yang menguji tentang persepsi mahasiswa akuntansi terhadap etika penyusunan
laporan keuangan dengan mengganti sampel mahasiswa menjadi sampel akuntan yang terdiri
dari akuntan publik, akuntan intern, dan akuntan pendidik di kota Medan.
Penelitian ini juga termotivasi oleh penelitian dilakukan oleh Rianto (2008)
yang meneliti tentang Analisis Sensitivitas Etis Mahasiswa Akuntansi UII
Yogyakarta dan penelitian yang dilakukan oleh Martadi dan Suranta (2006)
tentang Persepsi Akuntan, Mahasiswa Akuntansi, dan Karyawan Bagian Akuntansi
Dipandang Dari Segi Gender Terhadap Etika Bisnis dan Etika Profesi (Studi di
Wilayah Surakarta). Alasan penggantian sampel dari mahasiswa menjadi akuntan
karena mahasiswa belum mempraktekkan secara langsung etika penyusunan laporan
keuangan. Penelitian ini juga akan menyoroti masalah gender karena masih adanya
diskriminasi terhadap wanita dalam lingkungan kerjanya, meskipun jumlah wanita
karir meningkat secara signifikan serta adanya faktor perbedaan gender yang
menyebabkan perbedaan persepsi etika.
0 komentar:
Post a Comment