EKSISTENSI HAK ULAYAT
MENURUT UUPA
..................................................
(..................................................)
Abstrak
Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan
bumi serta air dan kekuasaan negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2
maka di dalam Pasal 3 UUPA No. 5 Tahun 1960 diadakan ketentuan mengenai hak
ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum yang dimaksud akan mendudukkan
hak itu pada tempat yang sewajarnya didalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3
menentukan, bahwa : “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari
masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.
Ketentuan ini pertama-tama
berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum Agraria yang baru.
Sebagai mana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan
berlaku serta diperhatikan pula didalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah
hak tersebut diakui secara resmi didalam Undang-undang, dengan akibat bahwa
didalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria, hak ulayat itu pada jaman
penjajahan dulu sering kali diabaikan.
Tetapi sebaliknya tidaklah dapat
dibenarkan, jika berdasarkan hak ulayat itu masyarakat-masyarakat hukum
tersebut menghalang-halangi pemberian hak guna usaha itu, sedangkan pemberian
hak tersebut di daerah itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas.
Pengalaman menunjukkan pula, bahwa
pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali terhambat karena mendapat
kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal pikiran ke dua
dari pada ketentuan dari Pasal 3 tersebut di atas. Sikap yang demikian terang
bertentangan dengan asas pokok yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam
prakteknya pun akan membawa akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk
mencapai kemakmuran rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari
uraian diatas, ini tidak berarti bahwa kepentingan masyarakat hukum yang
bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali.
Dalam penulisan penelitian
ini dipergunakan metode penelitian dengan cara penelitian kepustakaan (library
research).
Kata Kunci : Eksistensi Hak Ulayat Menurut UUPA
PENDAHULUAN
Hak ulayat, yaitu suatu hak
pemilikan dalam stelsel hukum adat atas sebidang tanah secara
komunalistis atau bersama-sama sehingga tidak atau belum ada hak-hak
perorangannya. Jadi tanah yang bersangkutan adalah tanah milik masyarakat adat
setempat yang dimiliki oleh warganya secara bersama-sama.1
Dalam hukum tanah
adat, hak ulayat yang merupakan hak persekutuan hukum atas tanah merupakan
pusat pengaturan. Hak perorangan warga masyarakat adat, memperoleh hak milik
tanah garapannya, setelah memperoleh izin dari penguasa adat. Apabila secara efektif, maka hubungan hak miliknya
menjadi lebih intensif dan dapat turun-temurun. Tetapi apabila warga masyarakat
tersebut menghentikan kegiatan menggarapnya, maka tanah itu kembali ke dalam
cakupan hak ulayat persekutuan hukumnya dan hak miliknya melebur.
|
Bagi kehidupan masyarakat persekutuan, hukum tanah adalah
sumber pokok, semenjak ia dilahirkan hingga ia meninggal dunia. Maka adalah
layak jika dalam hak-hak yang berhubungan dengan tanah persekutuan hukum itu
mempunyai campur tangan yang dilakukan oleh kepala persekutuan hukum yang
bersangkutan demi kepentingan persekutuan hukum atau masyarakatnya.
TINJAUAN TEORITIS UUPA NO.5 TAHUN 1960
Pengertian
Agraria dan Hukum Agraria
Kata
“Agraria” menurut Boedi Harsono berasal dari kata Agrarius, ager (latin)
atau agros (Yunani), akker (Belanda) yang artinya tanah
pertanian.3
UUPA (UU No.5/1960) sendiri tidak memberikan
batasan mengenai arti agraria, tetapi dari pelbagai rumusan yang terdapat dalam
undang-undang itu yaitu :
1.
Kata “agraria” dipergunakan untuk menggambarkan corak dari
susunan kehidupan termasuk perekonomiannya rakyat Indonesia.
2.
Materi yang diatur menyangkut pengelolaan bumi, air dan ruang
angkasa termasuk kekayaan alam di dalamnya.
3.
Hak-hak yang diatur meliputi hak-hak atas tanah (sebagai lapisan
permukaan bumi termasuk yang dibawah air) dan tubuh bumi, juga hak guna air,
pemeliharaan dan penangkatan ikan serta hak guna ruang angkasa.
Dasar-dasar Pengaturan UUPA No.5 Tahun 1960
Pada tanggal 24 September 1960 RUU
yang telah disetujui oleh DPR-GR disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang
No.5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang menurut
diktumnya yang kelima dapat disebut dan selanjutnya memang lebih terkenal
sebagai Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
UUPA diundangkan di dalam Lembaga
Negara Tahun 1960 No.104. Sedang penjelasannya dimuat dalam
Tambahan Lembaga Negara Nomor 2043. UUPA mulai berlaku pada
tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal 24 September 1960.
Dalam
penjelasan UUPA dirumuskan tujuan yang hendak dicapai adalah meletakkan
dasar-dasar:
1.
Bagi penyusunan hukum agraria
nasional.
2.
Untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan.
3.
Untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
Kerangka UUPA
a.
Konsiderans
Konsiderans UUPA
terdiri dari konsiderans-konsiderans :
-
“Menimbang” (4 alinea)
-
“Berpendapat” (5 alinea)
-
“Memperhatikan” (1 alinea) dan
-
“Mengingat” (4 peraturan perundang-undangan)
b.
Batang Tubuh
1.
Diktum memutuskan :
a.
UUPA mencabut sejumlah peraturan
perundang-undangan terdahulu (8 buah peraturan).
b.
Menetapkan Undang-undangan (5 diktum).
2.
Diktum pertama, terdiri dari 4 bab :
a.
Bab I, dasar-dasar dan ketentuan pokok (15 pasal).
b.
Bab II, hak-hak atas tanah, air, dan
ruang angkasa serta pendaftaran tanah (12 bagian dan 36 pasal).
c.
Bab III, ketentuan pidana (1 pasal)
d.
Bab IV,
ketentuan-ketentuan konversi (6 pasal)
3.
Dioktum kedua : ketentuan-ketentuan konversi (9 pasal)
4.
Diktum ketiga sampai dengan kelima :
lain-lain
c.
Penjelasan
1.
Penjelasan umum angka I-IV
2.
Penjelasan pasal demi pasal
Penguasan
Tanah oleh Negara
Pada
tingkatan tertinggi bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara, sebagai kekuasaan seluruh rakyat
(Pasal 2 (1) UUPA). Dalam pandangan Boedi Harsono, Pasal 2 UUPA ini telah
memberikan tafsiran resmi-interpretasi autentik mengenai arti kata “dikuasai”
yang digunakan di dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.12
UUPA secara tegas dalam penjelasannya menyatakan bahwa “dikuasai” itu bukan
berarti dimiliki. Asas “pemilikan” atau asas “domein” yang dikembangkan oleh
Pemerintah Kolonial Belanda dulu, tidak dikenal dalam hukum agraria yang baru.
Untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, tidak
perlu dan tidak pada tempatnya bahwa bangsa Indonesia atau negara bertindak
sebagai pemilik tanah. Adalah lebih tepat jika negara sebagai organisasi
kekuasaan dari seluruh rakuat (bangsa) bertindak selaku badan penguasa.