PENDAHULUAN
Keberadaan
dan peran profesi akuntan publik mengalami peningkatan sesuai dengan
perkembangan bisnis dan perubahan global. Keberadaan dan peran akuntan publik
yang cukup strategis tersebut dikuatkan dan diatur oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Beberapa peraturan yang berlaku seperti UU
Perseroan Terbatas, UU Pasar Modal, UU BUMN, UU Partai Politik, UU Pemilu, UU
Capres dan lainnya menyebutkan bahwa laporan keuangan harus disusun dan
disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) serta wajib diperiksa
oleh Akuntan Publik.
Namun
demikian seiring dengan meningkatnya kompetisi dan perubahan global, profesi
akuntan pada saat ini dan masa mendatang menghadapi tantangan yang semakin
berat. Banyak kasus-kasus tuntutan
terhadap auditor yang sampai ke meja hijau. Kalaupun tidak sampai ke
pengadilan, maka masyarakat memberi penilaian terhadap auditor, bahwa auditor
tidak mampu melaksanakan tugasnya dan tidak dapat diharapkan untuk membatu
publik. Kasus-kasus tersebut telah banyak terjadi diluar negeri dan semakin
banyak terjadi di Indonesia. Contoh kasus ini adalah pelanggaran yang melanda
perbankan di Indonesia pada tahun 2002-an. Banyak bank-bank dinyatakan sehata
tanpa syarat oleh akuntan publik ternyata sebagian besar bank itu kondisinya
tidak sehat. Disisi lain banyak kasus yang membutuhkan penyelesaian dengan
meminta jasa para akuntan publik. Hal ini menunjukkan keberdaan auditor masih
diakui dan diperlukan. Epstein dan Geiger (1994) menyatakan bahwa investor dan
pemakai laporan keuangan memang mengakui manfaat audit dalam pelaporan
keuangan.
Kondisi tersebut di atas merupakan fenomena
expectation gap yaitu adanya
kesenjangan harapan antara publik dan auditor sendiri terhadap peran dan
tanggung jawab auditor (Humphrey, 1997). Peran dan tanggung jawab auditor,
sebenarnya telah diatur dalam standar professional akuntan publik (SPAP) yang
ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) atau Statement on
Auditing Standards (SAS) yang
dikeluarkan oleh Auditing Standards Board (ASB). Standard tersebut dalam pelaksanaanya sering menimbulkan expectation
gap.
Guy dan Sullivan
(1988) menyebutkan adanya perbedaan harapan publik dengan auditor dalam hal :
(1) deteksi kecurangan dan tindakan illegal, (2) perbaikan keefektifan audit,
(3) komunikasi yang lebih intensif dengan publik dan komite audit. Dalam hal
ini publik beranggapan bahwa auditor harus dapat memberikan jaminan kecurangan
dan tindakan illegal harus dapat ditemukan dengan jaminan tersebut. Di lain
pihak audito tidak dapat memberikan absolut
assurance tersebut, auditor hanya
dapat memberikan reasonable assurance saja, dan inilah yang belum dimengerti oleh publik (Epstein
& Geiger dalam Gramling, Schatzberg, & Wallace, 1996).
Gramling, Schatzberg,
& Wallace, (1996) meneliti peran pengajaran auditing untuk mengurangi expectation gap. Ia memberikan enam isu expectation
gap yang dalam penelitian itu yaitu
peran dan tanggung jawab auditor terhadap : (1) auditor dan proses audit, (2)
peran auditor terhadap klien audit dan laporan keuangan audit, (3) kepada siapa
auditor harus bertanggung jawab, (4) aturan atas firma-firma akuntan publik, (5) atribut kinerja auditing,
(6) kasus-kasus khusus (illegal act).
Berapa topik
penelititan expectation gap dalam isu berbeda
yang dilakukan di Indonesia masih sangat terbatas. Nadirsyah (1993) telah
meneliti persepsi pemakai informasi akuntansi, akuntan dan masyarakat umum
terhadap isu independensi akuntan publik. Hasil penelitiannya menunjukkan
pemakai informasi akuntansi, akuntan dan masyarakat umum tidak mempersepsikan
akuntan pbulik indpenden, dimana ketidak independenannya berbeda bagi tiap
kelompok responden. Erlina (1993) meneliti persepsi akuntan publik dan pemakai
laporan terhadap laporan akuntan di pasar modal Indonesia. Hasil penelitiannya
menunjukkan pemakai laporan pembuatan keputusan ekonomi. Yeni (2000) meneliti
persepsi mahasiswa, auditor dan pemakai laporan keuangan terhadap peran dan
tanggung jawab auditor dalam isu seperti yang dikembangkan Guy & Sullivan
(1988) yang meliputi tanggung jawab terhadap fraud, mempertahankan independensi,
pengkomuniksian hasil audit, tanggung jawab illegal act klien, dan memperbaiki keefektifan audit.
Hasil penelitiannya menunjukkan adanya perbedaan persepsi yang signifikan di
antara masing-masing kelompok dalam semua isu kecuali pengkomunikasian hasil
audit.
Masih terbatasnya
penelitian tentang expectation gap di Indonesia tersebut, dalam penelitian ini
peneliti ingin menguji kembali persepsi pemakai
laporan keuangan, auditor, dan mahasiswa akuntansi terhadap expectation
gap di Indonesia. Penelitian ini
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya dalam obyek dan lingkup
penelitian. Penelitian ini memperluas obyek penelitian dalam isu expectation
gap seperti dikembangkan Guy & Sullivan (1988) dan Gramling Schatzberg,
& Wallace (1996), berbeda dengan peneliian-penelitan sebelumnya (Yeni,
2000) yang hanya menggunakan isu expectation gap dari penelitian Guy &
Sullivan (1988) sebagai obyek penelitian. Selain obyek penelitian yang berbeda,
peneliti juga memperluas area survei untuk responden dari kelompok mahasiswa,
dan pemakai laporan keuangan diperluas tidak hanya investor di bursa efek
tetapi juga meliputi survei dan obyek penelitian yang berbeda
0 komentar:
Post a Comment