BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makanan merupakan kebutuhan pokok manusia yang
dibutuhkan setiap saat dan memerlukan pengelolaan yang baik dan benar sehingga
bermanfaat bagi tubuh, makanan dan minuman merupakan kebutuhan hayati, manusia
akan memperoleh energi yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya melalui
proses metabolisme yang komplek dan disisi lain makanan dan minuman juga
mengandung potensi yang membahayakan karena bahan yang bersifat merugikan tubuh
manusia melalui media makanan dan minuman yang dikenal sebagai sanitasi makanan
(food hygiene). Sanitasi makanan tersebut salah satunya merupakan kualitas
peralatan yang digunakan baik untuk mengolahan bahan makanan maupun digunakan
untuk penyajian pada konsumen. (Amsyari, 1996)
Untuk mendapatkan makanan dan minuman yang memenuhi
syarat kesehatan maka perlu diadakan pengawasan terhadap hygiene, sanitasi
makanan dan minuman, mengingat bahwa makanan dan minuman merupakan media yang
potensinya dalam penyebaran penyakit maka pengawasan sanitasi makanan dan
minuman mempunyai arti penting dalam upaya menghindari dari unsur pencemaran
baik yang bersifat fisik, kimia, dan bakterologi. makanan yang dikonsumsi
hendaknya memenuhi kriteria bahwa makanan tersebut layak untuk dimakan dan
tidak menimbulkan penyakit. (Slamet, 2004)
Sehubungan dengan hal tersebut dalam UUD 45 No 23 Tahun
1992, tentang kesehatan pasal 21 ayat 1 bahwa pengamanan makanan dan minuman
diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak
memenuhi ketentuan yang tidak memenuhi standar persyaratan kesehatan. Pada
umumnya tingkat hygiene makanan yang dikonsumsi banyak dipengaruhi oleh
beberapa faktor misalnya dari segi pengolahan, pengangkutan, penyajian sampai
pada tahap pencucian, sebagai media pembersih peralatan makanan dan minuman
serta air yang digunakan sebagai pencucian peralatan juga harus memenuhi syarat
seperti yang ada pada peraturan menteri kesehatan No 416/menkes/per/IX/1990, tentang
persyaratan air bersih begitu juga dengan persyaratan peralatan makanan itu
sendiri tidak boleh mengandung bakteri lebih dari 100 koloni/cm2
permukaan (UU RI No. 23 Tahun 1997).
Penjamah makanan sangat berpengaruh terhadap kualitas
makanan, sehingga baik secara langsung maupun secara tidak langsung dapat
berpengaruh terhadap penyebaran penyakit. Kebiasaan mencucitangan sebelum
melakukan pekerjaan pengolahan makanan adalah mutlak dilaksanakan seperti
diketahui tangan tidak pernah bebas dari berbagai macam kuman, baik berasal dari kontaminasi maupun yang
tinggal secara menetap pada tangan. Sikap petugas pengolah makanan di
warung-warung makan dalam masalah cucitangan sudah sangat baik hal ini sesuai
dengan tingkat pendidikan mereka, akan tetapi kenyataan praktek sehari-hari
dilapangan belum tentu demikian mereka dengan senantiasa melakukan prilaku yang
tidak hygienies dimana supaya pekerjaan mereka mudah dan cepat hal yang
demikian tidak hygienes.
Seiring dengan kemajuan teknologi, manusia terus melakukan
perubahan-perubahan dalam hal pengolahan bahan makanan. Hal ini wajar sebab
dengan semakin berkembangnya teknologi kehidupan manusia semakin hari semakin
sibuk sehingga tidak mempunyai banyak waktu untuk melakukan pengolahan bahan
makana yang hanya mengandalkan bahan mentah yang kemudian diolah didapur. Dalam
keadaaan demikian, makanan cepat saji (instan) yang telah diolah dipabrik atau
telah diawetkan banyak manfatnya bagi masyarakat itu sendiri. Permasalahan atau
petanyaan yang timbul kemudian adalah apakah proses pengawetan, bahan pengawet
yang ditambahkan atau produk pangan yang dihasilkan aman dikonsumsi manusia. (Depkes
RI : 1998)
Penyakit yang timbul karena makanan
dan minuman yang tercemar telah menjadi masalah yang serius bukan hanya
dimasyarakat kita tetapi juga di negara-negara lain didunia. Hal ini ditandai
dengan meningkatnya kasus keracunan minuman dan makanan setiap tahunnya. Dari
data BPOM 18.446 penderita keracunan
(80%) penderita keracunan makanan dan 282 di antaranya meninggal, sehingga
angka fatalitas atau CFR (Case fatality Rate) = 1,5 % keracunan tempe bongkrek
karena basillus cocovenans tercatat 6.840 kasus , dengan CFR 8,61 %. Sebetulnya
kasus keracunan sangat sedikit aka tetapi CFR-nya tinggi. CFR rata-rata
keracunan makanan adalah 3,04 %, sama dengan CFR dan DHF dan morbilli. Dengan
demikian dapat di mengerti pentingnya pencegahan keracunan makanan. Krena
sebagian dari keracunan itu berbentuk diare, sebagai contoh kasus tahun 2004
tercatat kejadian luar biasa (KLB), 25,645 penderita dengan CFR 2,4%.( Depkes
RI On Line 2009)
Badan Pengawas Obat dan Makanan tahun 2008 mengatakan bahwa lebih
dari 80 % kasus keracunan makanan muncul di tengah-tengah masyarakat di
sebabkan oleh kebersihan yang kurang saat proses pengolahan makanan, selebihnya
sangat tergantung kepada pemilihan jenis bahan baku makanan/minuman dan mekanisme pengolahan
yang menandakan rendahnya tanggung jawab masyarakat produsen makanan/minuman
tentang penyehatan makanan terutama pada produsen rumah tangga (webmaster
@promosikesehatan.com)
Berdasarkan studi awal melalui wawancara terhadap 5 orang penjamah
makanan pada bulan desember 2009 ternyata pengetahuan penjamah makanan sangat
kurang yakni yakni 3 responden memiliki pengetahuan kurang dan hanya 1
responden katagori cukup dan baik, hal ini mengindikasikan betapa rendahnya
pengetahuan para penjamah makanan pada rumah makan di Kec, Kota Matang Glumpang
Dua.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik
mengangkat sebuah penelitian sebagai tugas akhir ini dengan judul Gambaran
Tingkat Pengetahuan Penjamah Makanan
Tentang Sanitasi Makanan pada rumah makan.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana
tingkat pengetahuan penjamah
makanan terhadap sanitasi makanan di Kota Matang Glumpang Dua, Kecamatan Peusangan
Kabupaten Bireuen..
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya gambaran pengetahuan penjamah makanan terhadap sanitasi
makanan di Kota Matang Glumpang Dua, Kecamatan Peusangan Kabupaten BireuenSelengkapnya..
0 komentar:
Post a Comment