INFORMASI PENTING

Wednesday, February 12, 2014

Pengaruh Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi dengan Kepercayaan Diri Sebagai Variabel Pemoderasi


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A.       Kerangka Teori
1.            Kecerdasan Emosional
            Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Menurut Daniel Goleman (2004 : 411) emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran yang khas, suatu keadaan biologis dan psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar dan dalam diri individu. Sebagai contoh emosi gembira mendorong perubahan suasana hati seseorang, sehingga secara fisiologi terlihat tertawa, emosi sedih mendorong seseorang berperilaku menangis.
            Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta). 
Menurut Mayer (Goleman, 2004 : 65) orang cenderung menganut gaya-gaya khas dalam menangani dan mengatasi emosi mereka, yaitu : sadar diri, tenggelam dalam permasalahan, dan pasrah. Dengan melihat keadaan itu maka penting bagi setiap individu memiliki kecerdasan emosional agar menjadikan hidup lebih bermakna dan tidak menjadikan hidup yang di jalani menjadi sia-sia.
            Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada.
Istilah “kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan.
Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai “Suatu kecerdasan emosional yang berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memantau baik emosi-dirinya dengan emosi orang lain, dimana kemampuan ini digunakan untuk mengarahkan pola pikir dan prilakunya.”(Mubayidh, 2006:15).

            Menurut Goleman (2004 : 512), kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur kehidupan emosinya dengan inteligensi (to manage our emotional life with intelligence); menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya (the appropriateness of emotion and its expression) melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.
            Dari beberapa pendapat di atas dapatlah dikatakan bahwa kecerdasan emosional atau EQ meliputi kecerdasan sosial dan menekankan pada pengaruh emosi pada kemampuan melihat situasi secara objektif dan memahami diri sendiri dan orang lain. Inilah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan secara efektif menggunakan kekuatan emosi, disalurkan sebagai sumber energi, kreativitas, dan pengaruh dalam kehidupan kita sehari-hari, di tempat kerja atau dalam berhubungan dengan orang lain. Emosi sendiri adalah sumber energi dari manusia, aspirasi dan dorongan, membangkitkan perasaan terdalam dan tujuan hidup, dan mentransformasikannya dari apa yang kita pikirkan menuju menghargai hidup kita.
Berdasarkan pengalaman, apabila suatu masalah menyangkut pengambilan keputusan dan tindakan, aspek perasaan sama pentingnya  dan sering kali lebih penting daripada nalar. Kita sudah terlalu lama menekankan pentingnya IQ dalam kehidupan manusia. Bagaimanapun, kecerdasan tidaklah berarti apa-apa bila emosi yang berkuasa. Kecerdasan emosional menambahkan jauh lebih banyak sifat-sifat yang membuat kita menjadi lebih manusiawi.
            Kecerdasan akademis sedikit kaitannya dengan kehidupan emosional. Orang dengan IQ tinggi dapat terperosok ke dalam nafsu yang tak terkendali dan impuls yang meledak-ledak; orang dengan IQ tinggi dapat menjadi pilot yang tak cakap dalam kehidupan pribadi mereka. Kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak atau kesempatan yang ditimbulkan oleh kesulitan-kesulitan hidup. IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.
        Orang dengan ketrampilan emosional yang berkembang baik berarti kemungkinan besar ia akan bahagia dan berhasil dalam kehidupan, menguasai kebiasaan pikiran yang mendorong produktivitas mereka. Orang yang tidak dapat menghimpun kendali tertentu atas kehidupan emosionalnya akan mengalami pertarungan batin yang merampas kemampuan mereka untuk berkonsentrasi pada
karir/pekerjaan ataupun untuk memiliki pikiran yang jernih.
            
            Kecerdasan ditunjukan dengan toleransi, empati dan kasih sayang kepada orang lain, kemampuan untuk memverbalkan perasaan secara akurat dan penuh integritas, dan dapat mengatasi kesedihan emosional.  Inilah alasan mengapa EQ jauh lebih penting daripada IQ untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan. 

2.     Komponen Kecerdasan Emosional    
Menurut Goleman (2003) dalam Nuraini (2007) terdapat lima dimensi atau komponen kecerdasan emosional (EQ) yaitu:
a. Pengenalan diri (Self awareness),

b. Pengendalian diri (self regulation),

c. Motivasi (motivation),

d. Empati (empathy),

e. Keterampilan sosial (Social skills).

Berikut ini dijelaskan masing-masing dari komponen kecerdasan emosional
a. Pengenalan Diri
Gea et al. (2002) (dalam Melandy dan Aziza, 2006), mengenal diri berarti memahami kekhasan fisiknya, kepribadian, watak dan temperamennya, mengenal bakat-bakat alamiah yang dimilikinya serta punya gambaran atau konsep yang jelas tentang diri sendiri dengan segala kesulitan dan kelemahannya. Ada beberapa cara untuk mengembangkan kekuatan dan kelemahan dalam pengenalan diri yaitu introspeksi diri, mengendalikan diri, membangun kepercayaan diri, mengenal dan mengambil inspirasi dari tokoh-tokoh teladan, dan berpikir positif dan optimis tentang diri sendiri. 
b. Pengendalian Diri
Menurut Goleman (2000) (dalam Nuraini, 2007) Pengendalian diri merupakan sikap hati-hati dan cerdas dalam mengatur kehidupan, keseimbangan dan kebijakan yang terkendali, dan tujuannya adalah untuk keseimbangan emosi, bukan menekan emosi, karena setiap perasaan mempunyai nilai dan makna. Menjaga agar emosi yang merisaukan tetap terkendali merupakan kunci menuju kesejahteraan emosi. Emosi berlebihan, yang meningkat dengan intensitas terlampau lama akan mengoyak kestabilan kita (Goleman, 2002 : 77-78). Kemampuan ini mencakup kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang ditimbulkannya serta kemampuan untuk bangkit dari perasaan-perasaan yang menekan.
c. Motivasi
Menurut Goleman (2000) (dalam Nuraini, 2007) Motivasi didefinisikan sebagai suatu konsep yang digunakan jika menguraikan kekuatan-kekuatan yang bekerja terhadap diri individu untuk memulai dan mengarahkan perilaku atau segala sikap yang menjadi pendorong timbulnya suatu perilaku. Motivator yang paling berdaya guna adalah motivator dari dalam, bukan dari luar. Keinginan untuk maju dari dalam diri mahasiswa akan menimbulkan semangat dalam meningkatkan kualitas mereka. Para mahasiswa yang memiliki upaya untuk meningkatkan diri akan menunjukkan semangat juang yang tinggi ke arah
d. Empati
Menurut Goleman (2000) (dalam Nuraini, 2007) Empati adalah perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, khususnya untuk berbagi pengalaman atau secara tidak langsung merasakan penderitaan orang lain. Empati atau mengenal emosi orang lain dibangun berdasarkan pada kesadaran diri. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, maka dapat dipastikan bahwa ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Orang yang memiliki empati yang tinggi akan lebih mampu membaca perasaan dirinya dan orang lain yang akan berakibat pada peningkatan kualitas belajar sehingga akan tercipta suatu pemahaman yang baik tentang akuntansi. penyempurnaan diri yang merupakan inti dari motivasi untuk meraih prestasi.
e. Keterampilan sosial
Menurut Jones (1996) (dalam Melandy dan Aziza, 2006), kemampuan membina hubungan dengan orang lain adalah serangkaian pilihan yang dapat membuat anda mampu berkomunikasi secara efektif dengan orang yang berhubungan dengan anda atau orang lain yang ingin anda hubungi. Dalam hubungannya dengan dunia kampus, ketrampilan sosial dapat dilihat dari sinkronisasi antara dosen dan mahasiswa yang menunjukkan seberapa jauh hubungan yang mereka rasakan, studi-studi di kelas membuktikan bahwa semakin erat koordinasi gerak antara dosen dan mahasiswa, semakin besar perasaan bersahabat, bahagia, antusias, adanya keterbukaan ketika melakukan interaksi. Perasaan bersahabat antara dosen dan mahasiswa akan menciptakan sebuah interaksi yang efektif dalam rangka pemahaman di bidang akuntansi.

3.     Kepercayaan Diri
            Menurut Goleman (2003) (dalam Rissyo dan Aziza, 2006), kepercayaan diri adalah kesadaran yang kuat tentang harga dan kemampuan diri sendiri. Orang dengan kecakapan ini akan berani tampil dengan keyakinan diri, berani menyatakan keberadaannya, berani menyuarakan pandangan yang tidak popular dan bersedia berkorban demi kebenaran serta tegas, mampu membuat keputusan yang baik kendati dalam keadaan tidak pasti dan tertekan.
            Menurut Hasan (dalam Iswidharmanjaya, 2004:13) percaya diri adalah “kepercayaan akan kemampuan sendiri yang memadai dan menyadari kemampuan yang dimiliki serta dapat memanfaatkannya secara tepat”.
            Setiap orang memerlukan percaya diri, karena dengan adanya rasa percaya diri maka seseorang itu akan memiliki keyakinan dengan kemampuaannya didalam menyelesaiakan suatu pekerjaan. Percaya diri merupakan sikap positif seorang individu yang memampukan dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya.
            Secara normal bisa dikatakan bahwa semua orang ingin memiliki kepercayaan diri yang tinggi atau kuat. Ini misalnya terkait dengan apabila rasa percaya diri dijadikan sebagai salah satu aspek yang penting dalam proses belajar. Mahasiswa yang kepercayaan dirinya bagus akan cenderung berkesimpulan bahwa dirinya “lebih besar” dari masalahnya sehingga akan akan lebih mungkin memiliki prestasi yang baik. Sebaliknya, orang yang punya kepercayaan diri rendah akan cenderung berkesimpulan bahwa masalahnya jauh lebih besar dari dirinya. Hanya memang ada satu hal yang perlu kita waspadai bahwa ada beberapa sisi-sisi negatif di balik kepercayaan diri yang tinggi itu. Sisi-sisi negatif ini perlu kita kelola secara proporsional agar tidak membuahkan sikap dan perilaku yang merugikan atau merusak.
            Menurut Lauster (2003) (dalam Rissyo dan Aziza, 2006),  kepercayaan pada diri sendiri yang sangat berlebihan tidak selalu berarti sifat yang positif. Ini umumnya dapat menjurus pada usaha tak kenal lelah. Seseorang yang bertindak dengan kepercayaan diri sendiri yang berlebihan, sering memberikan kesan kejam dan lebih banyak punya lawan dari pada teman.
            Rasa percaya diri yang kuat sebenarnya hanya merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa, karena didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik terhadap diri sendiri. Bagi mereka yang kurang percaya diri, setiap kegagalan mempertegas rasa tidak mampu mereka. Tidak adanya percaya diri dapat mewujud dalam bentuk rasa putus asa, rasa tidak berdaya, dan meningkatkan keraguan kepada diri sendiri. Di pihak lain, percaya diri berlebihan dapat membuat orang tampak sombong, terutama bila ia tidak mempunyai ketrampilan sosial.

            Orang yang memiliki rasa percaya diri umumnya memandang diri sendiri sebagai orang yang produktif, mampu menghadapi tantangan dan mudah menguasai pekerjaan atau keterampilan baru. Mereka mempercayai diri sendiri sebagai katalisator, penggerak dan pelopor, serta merasa bahwa kemampuan-kemampuan mereka lebih unggul dibanding kebanyakan orang lain.

Selengkapnya..



Tuesday, February 11, 2014

PENGARUH KINERJA KEUANGAN TERHADAP NILAI PERUSAHAAN DENGAN PENGUNGKAPAN CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY DAN GOOD CORPORATE GOVERNANCE SEBAGAI VARIABEL MODERASI


BAB  I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Laporan keuangan adalah sebuah produk informasi yang dihasilkan yang sangat penting yang berkaitan dengan kondisi perusahaan sehingga dalam penyusunannya tidak bisa terlepas dari proses penyusunannya. Oleh karena itu, setiap kebijakan dan keputusan yang diambil dalam proses penyusunan laporan keuangan akan sangat mempengaruhi penilaian kinerja perusahaan. Karena laporan keuangan merupakan dasar untuk penilaian kinerja perusahaan. Kinerja keuangan merupakan salah satu aspek utama dalam operasi perusahaan dan menjadi tujuan berdirinya sebagian besar perusahaan.
Laporan keuangan yang sering digunakan untuk mengukur keberhasilan operasi perusahaan untuk suatu periode tertentu adalah laporan laba rugi. Namun, laba yang dihasilkan dalam laporan laba rugi seringkali dipengaruhi oleh metode akuntansi yang digunakan, sehingga laba yang tinggi pun belum tentu mencerminkan kas yang besar. Sedangkan laporan arus kas mempunyai nilai lebih untuk menjamin kinerja perusahaan di masa mendatang. Arus kas (Cash Flow) menunjukkan hasil operasi yang dananya telah diterima tunai oleh perusahaan dan juga beban yang bersifat tunai yang benar -benar sudah dikeluarkan oleh perusahaan (Pradhono, 2004).

Untuk pengambilan keputusan ekonomi, para pelaku bisnis dan pemerintah membutuhkan informasi tentang kondisi dan kinerja keuangan perusahaan. Investor sebelum melakukan investasi pada perusahaan yang terdaftar di BEI melakukan analisis kinerja perusahaan antara lain menggunakan rasio keuangan dalam laporan keuangan yang dipublikasikan untuk melihat seberapa besar nilai perusahaan.
Tujuan utama perusahaan, adalah meningkatkan nilai perusahaan serta meningkatkan kesejahteraan pemilikinya atau pemegang saham, atau memaksimalkan kekayaan pemegang saham melalui peningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai perusahaan tersebut dapat dicapai jika perusahaan mampu beroperasi dengan mencapai laba yang ditargetkan.
Rendahnya kualitas laba akan dapat membuat kesalahan pembuatan keputusan para pemakainya seperti investor dan kreditor, sehingga nilai perusahaan akan berkurang (Siallagan dan Machfoedz, 2006). Fama (1978) dalam Wahyudi dan Pawastri (2006) menyatakan nilai perusahaan akan tercermin dari harga pasar sahamnya. Laba sebagai bagian dari laporan keuangan yang tidak menyajikan fakta yang sebenarnya tentang kondisi ekonomis perusahaan dapat diragukan kualitasnya.
Penelitian mengenai faktor – faktor yang berpengaruh terhadap nilai perusahaan telah dilakukan. Invesment opportunity set dan leverage berpengaruh terhadap nilai perusahaan (Andri dan Hanung, 2007). Penelitian mengenai pengaruh kinerja keuangan dalam hal ini return on asset (ROA) terhadap nilai perusahaan menunjukkan hasil yang tidak konsisten.
Modigliani dan Miller dalam Ulupui (2007) menyatakan bahwa nilai perusahaan ditentukan oleh kinerja keuangan  dari aset perusahaan yaitu semakin tinggi kinerja keuangan semakin efisien perputaran aset sehingga akan meningkatkan nilai perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Ulupui (2007) menemukan hasil bahwa kinerja keuangan berpengaruh positif signifikan terhadap return saham satu periode ke depan. Oleh karena itu, kinerja keuangan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Makaryawati (2002), Carlson dan Bathala (1997) dalam Suranta dan Pratana (2004) juga menemukan bahwa ROA berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Namun, hasil yang berbeda diperoleh oleh Suranta dan Pratana (2004) serta Kaaro (2002) dalam Suranta dan Pratana (2004) dalam penelitiannya menemukan bahwa ROA justru berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan. Hal ini menunjukkan adanya faktor lain yang turut mempengaruhi hubungan ROA dengan nilai perusahaan. Oleh karena itu, penulis memasukkan pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Good Corporate Governance (GCG) sebagai variabel moderasi yang diduga ikut memperkuat atau memperlemah pengaruh tersebut.
Saat ini perusahaan tidak hanya dituntut mencari keuntungan/laba semata, tetapi juga harus memperhatikan tanggung jawab sosial di masyarakat. Dari segi ekonomi, memang perusahaan diharapkan mendapatkan keuntungan yang setinggi-tingginya. Tetapi di aspek sosial, maka perusahaan harus memberikan kontribusi secara langsung kepada masyarakat yaitu meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan lingkungannya.
Beberapa tahun terakhir banyak perusahaan semakin menyadari pentingnya menerapkan program Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bagian dari strategi bisnisnya. Penelitian Basamalah dan Jermias (2005) menunjukkan bahwa salah satu alasan manajemen melakukan pelaporan sosial adalah untuk alasan strategis. Meskipun belum bersifat mandatory, tetapi dapat dikatakan bahwa beberapa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sudah mengungkapkan informasi mengenai CSR dalam laporan tahunannya. Pengungkapan yang bersifat sukarela ini tidak disyaratkan oleh standar, tetapi dianjurkan dan akan memberikan nilai tambah bagi perusahaan yang melakukannya.
Dari perspektif ekonomi, perusahaan akan mengungkapkan suatu informasi jika informasi tersebut dapat meningkatkan nilai perusahaan (Verecchia, 1983 dalam Basamalah dan Jermias, 2005). Perusahaan akan memperoleh legitimasi sosial dan memaksimalkan kekuatan keuangannya dalam jangka panjang melalui penerapan CSR (Kiroyan, 2006).
Perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang bagus akan direspon positif oleh para investor sehingga kinerja keuangan perusahaan akan meningkat dilihat dari laba yang dihasilkan dalam jangka panjang serta meningkatkan nilai perusahaan yang melakukan pengungkapan corporate social responsibility.

Selain pengungkapan CSR peneliti juga menggunakan good corporate governance sebagai variabel pemoderasi. Pengelolaan perusahaan juga mempengaruhi nilai perusahaan. Masalah corporate governace muncul karena terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian perusahaan. Pemisahan ini didasarkan pada agency theory yang dalam hal ini manajemen cenderung akan meningkatkan keuntungan pribadinya daripada tujuan perusahaan. Selain memiliki kinerja keuangan yang baik perusahaan juga diharapkan memiliki tata kelola yang baik.
Penelitian Fala (2007) menunjukkan bahwa variabel jumlah dewan komisaris sebagai salah satu mekanisme corporate governance merupakan variabel pemoderasi yang dapat menginteraksi hubungan antara konservatisma akuntansi dengan nilai perusahaan meskipun pengaruhnya negatif. Sebaliknya kepemilikan manajerial bukan merupakan variabel pemoderasi yang dapat menginteraksi hubungan konservatisma akuntansi dan nilai perusahaan.
Dalam penelitian ini indikator mekanisme corporate governance yang digunakan adalah kepemilikan manajerial. Dalam penelitian ini semakin tinggi kepemilikan manajerial diharapkan pihak manajemen akan berusaha semaksimal mungkin untuk kepentingan para pemegang saham.
Penerapan good corporate governance dipercaya mampu mempengaruhi jalannya perusahaan yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja keuangan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Hal ini disebabkan karena adanya kontrol yang mereka miliki.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan replikasi dari penelitian Ni Wayan Yuniasih (2005) yang meneliti tentang Pengaruh kinerja keuangan terhadap nilai perusahaan dengan pengungkapan corporate social responsibility dan good corporate governance sebagai variabel pemoderasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kinerja keuangan mempengaruhi secara signifikan positif terhadap nilai perusahaan. Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memperkuat hasil penelitian sebelumnya atau akan menemukan hal yang berbeda dengan temuan sebelumnya dengan memperpanjang masa penelitian dari tahun 2005 hingga tahun 2008.

Atas dasar penelitian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan Dengan Pengungkapan Corporate Social Responsibillity (CSR) Dan Good Corporate Governance Sebagai Variabel Pemoderasi.”

Selengkapnya..


Pengaruh Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi


BAB I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

            Kualitas manusia berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang merupakan rangkaian dari pendidikan dasar, menegah, dan tinggi. Pendidikan tinggi sebagai lembaga yang membekali peserta didik dengan penekanan pada kemampuan nalar dan pemahaman pengetahuan berdasarkan keterkaitan antara toeri dengan pengaplikasiannya dalam dunia praktek, berperan penting dalam menumbuhkan kemandirian peserta didik dalam proses pembelajaran yang diikutinya. Tingkat pemahaman yang dalam hal ini pemahaman akuntansi berperan penting untuk mengetahui apakah mahasiswa tersebut telah memahami materi yang telah disampaikan oleh dosen. Pemahaman tersebut dapat diperoleh mahasiswa melalui proses pembelajaran.
Proses pembelajaran yang diikuti selama menuntun ilmu diperguruan tinggi secara langsung ataupun tidak langsung akan melatih kecerdasan emosional. Proses belajar mengajar dalam berbagai aspeknya bisa jadi meningkatkan kecerdasan emosional mahasiswa (Suryanigsum, Herinigsih, dan Afuwah, 2004:600). Kecerdasan emosional itu meliputi pengenalan diri, pengendalian diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial (Salovely dan Mayer dalam Goleman, 2001: 57).
            Penelitian mengenai kecerdasan emosional sudah banyak dilakukan. Penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati dan Suryaningsum (2003) yang meneliti tentang Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi  menyebutkan bahwa pengaruh kecerdasan emosional yang terdiri atas motivasi dan pengendalian diri saja yang mempengaruhi secara positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Sementara pengenalan diri, empati, dan keterampilan sosial tidak memberikan pengaruh positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Penelitian ini dilakukan di Yogyakarta dengan sampel penelitian adalah mahasiswa jurusan akuntansi, yaitu UPN, UII, dan STIE YKPN.
            Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Raudah (2006) yang merupakan replikasi dari penelitian Trisnawati dan Suryaningsum menyatakan bahwa baik pengenalan diri, pengendalian diri, empati, motivasi, dan keterampilan sosial tidak mempunyai pengaruh positif terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Selain itu tidak terdapat perbedaan pengaruh kecerdasan emosional antara mahasiswa laki-laki dan perempuan terhadap tingkat pemahaman akuntansi, serta tidak terdapat perbedaan pengaruh kecerdasan emosional antara PTN dan PTS terhadap tingkat pemahaman akuntansi. Sampel penelitian ini adalah mahasiswa jurusan akuntansi yaitu mahasiswa USU, UNIMED, UMSU, dan UISU yang ada diwilayah Sumatera Utara.

Berdasarkan pada pemahaman tentang kecerdasan emosional dan penelitian sebelumnya, maka peneliti termotivasi untuk meneliti tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap tingkat pemahaman akuntansi yang merupakan replikasi oleh Raudah (2005) dengan memasukkan variabel kecerdasan intelektual sebagai tambahan variabel independen. Alasan penambahan variabel ini adalah karena selain kecerdasan emosional ada faktor lain yang mempengaruhi tingkat pemahaman seseorang, yaitu kecerdasan intelektual. Peran IQ (Intelligence Quotiont) dalam dunia kerja menempati posisi kedua setelah kecerdasan emosional (Goleman dalam Suryanigsum, dkk 2004 : 359). Kecerdasan intelektual itu meliputi kemampuan verbal, kemapuan kuantitatif dan kemampuan penalaran (Saragih, 2005). Selain itu dalam penelitian ini, akan diteliti juga perbedaan pengaruh kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional antara mahasiswa USU dan UNIMED. Berdasarkan pada hal tersebut, maka penelitian ini diberi judul “Pengaruh Kecerdasan Intelektual dan Kecerdasan Emosional Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi (Studi Empiris pada Universitas Negeri di Kota Medan)”.

Selengkapnya..


THE DIFFERENCE IN FINANCIAL PERFORMANCE BETWEEN THAT OF SMALL ENTERPRISES AS THE BUSINESS LINKAGE OF BUMN IN MEDAN AND THAT OF SMALL ENTERPRISES WHICH ARE NOT


CHAPTER I
INTRODUCTION

A.  Background
Small and Medium Enterprises (SMEs) hold an important role within the national economic development. The history showed that such enterprises in Indonesia are sustainable and kept growing despite the economic crisis that struck the country since 1997; moreover it has become the savior for the national economic recovery due to its ability in significantly supporting the Gross Domestic Product (PDB), export growth, and in absorbing the work force.
Based on the survey and data of the Central Bureau of Statistics (BPS) of 2006-2007, it shows that the number of SME increased as much as 2.18 percent that it impacted in the increasing of the ability in absorbing the work force as much as 2.46 percent compared to the statistics of 2006. The SME contribution to Indonesia Economy is also observable such as on its contribution toward the national Gross Domestic Product (PDB) and export value. National Gross Domestic Product was increasing about 6,38 percent that is from Rp 1.035,61 quintillion  in 2006 to Rp 1.963,97 quintillion in 2007 or about 56,09% of the total national PDB. The contribution of SME toward the total national export value was increasing about 16,77 percent that is from Rp 122,31 quintillion in 2006 to Rp 142,82 quintillion.
The data indicates that SME is basically a group of enterprises that holds large potential in reducing poverty and unemployment. However the success in surviving the national economic development does not make SME able to develop from tip to toe. The condition of SME still sensitive because the siding of bank is still low, that free market begins opened, and the limited regulation that support the small enterprises (Hafsah : 2004).
Capital becomes the main issue in developing Small and Medium Enterprise (SME) especially the micro enterprises that it needs a set of regulations to overcome the problem. In developing such enterprises, mainly in providing the capital, the government has already put into effect various regulation such as of granting bank credit, suggesting the fund of Government Letter of Credit  (SUP), and Rolling Loan. However the financial aid is not the most important part in helping the small and medium enterprises to grow. This is underlining that giving such financial aid to the enterprises causes anxiety that they will not allocate the aid efficiently and effectively as expected assuming that they have poor ability in managing the aid toward the development of the enterprises (Siska, 2005).
One of the efforts to help the small enterprises to grow and develop themselves in order to be strong enterprises is by implementing the Partnership Program of “Foster Father” System by big companies either of State-Owned Corporations (BUMN) or private ones. Such has been designed by the government and announced in the State Ministry of BUMN Ordinance No. Per-05/MBU/2007 dated on 27 April 2007 concerning Partnership Program of BUMN with Small Enterprises and Environment Developing Program (PKBL).
In this case BUMN is appointed as the implementer of partnership program since the entire or most of the capital source is from the state wealth which is segregated, and becomes one of the economy actors within the national economy system besides the existing cooperatives, and private enterprises. BUMN also is the producer of goods and services for people welfare, and it plays a strategic role in assisting  private enterprises, and small-scale cooperatives to grow and develop.
The previous researchs that focussed on partnership pattern or the influence of Business Linkage Program towards the financial performance of SME are relatively difficult to be found, mainly that was done on purpose of academic observation. In general, the previous researchs found that the partnership program hold an important role towards the development of SME, that is be measured by the increasing of total  income and in absorbing the work force of SME. Siska (2005) and Meylina (2008), found that partnership program has taken part enough significantly towards the development of SME. Furthermore, the research about Business Development System (BDS), which is a program that prepare an effort service to develop the SME, in characteristic non-financial, has done by Rosyadi (2005) and Imamah (2008), saying that the program of BDS has a significant influence towards the performance of SME. The indicator of measurement toward the perfomance are including capitalization, business unit, production aspect, marketing, income and business profit. Furthermore according to Imamah (2008), she focussed on the influence of BDS Program as fasilitator in get capital, expand market segment towards the development of SME. It is contrast with Kuncoro (2000), that focussed on the linkage between the big enterprises with the small industry based on the pattern of “Foster-Father”, stated that founding of Foster-Father (BUMN or big private companies) assumed it was less effective because Foster-father has just become a “Santa Claus” that grants the fund without taking care of the business of the sub, and the father thought that the partnership is only to fulfill the sosial mission.
Based on the above-mentioned explanation, the writer is interested in making a research to find out the influence of BUMN partnership program of Foster Father for Small Enterprise toward financial  performance of the small enterprise, and to find out if there is a difference in financial performance between small enterprise as the business linkage of BUMN and those which are not. Therefore, the writer decided to give her research a title such as “The Difference in Financial Performance Between that of Small Enterprises as the Business Linkage of BUMN and  that of Small Enterprises Which Are Not”.

Selengkapnya..


Monday, February 10, 2014

PENGGUNAAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI BERBASIS KOMPUTER PADA PERUSAHAAN KECIL DI KOTA MEDAN



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
            Sistem informasi berbasis komputer yang efektif dan efesien adalah hal yang sangat dibutuhkan oleh hampir semua organisasi baik badan institusi pemerintah/swasta, pendidikan dan perusahaan. Saat ini manajemen perusahaan memandang peranan sistem informasi sebagai kemampuan bagi perusahaan untuk memperoleh keunggullan kompetitif. Sistem informasi mampu mengubah cara perusahaaan dalam bersaing (Alter 1996 dalam Pontoh 1997). Salah satu tujuan utama penelitian-penelitian dibidang sistem informasi adalah untuk membantu tingkat pemakai akhir (Individu) dan organisasi  agar dapat memanfaatkan teknologi informasi secar efektif (Staples & Seddon, 2004 dalam Sunarta dan Astuti 2005).
            Sistem informasi merupakan seperangkat komponen yang saling berhubungan yang berfungsi mengumpulkan, memproses, menyimpan dan mendistribusikan informasi dan mendukung pembuatan keputusan dan pengawasan dalam organisasi (Laudon, 2000; dalam Radityo dan julaika, 2007). Goodhue (1995; dalam Jumaili, 2005) mengemukakan bahwa sistem informasi merupakan alat yang digunakan oleh individu untuk membantu menyelesaikan tugas-tugas mereka. Kecocokan tugas dengan sistem tersebut dapat berhubungan dengan pencarian data yang berkaitan dengan kemudahan dalam menemukan data yang dibutuhkan sistem, otoritas dalam mengakses data, ketepatan waktu dalam menyelesaikan tugas, kemudahan dalam mengoperasikan sistem.
            Perusahaan dalam menjalankan kegiatan operasi membutuhkan sistem informasi yang efesien dan efektif. Apalagi bila perusahaan  tersebut sudah menggunakan sistem informasi dalam menjalankan kegiatan operasinya, pengolahan data sistem informasi ini sangat berperan untuk memudahkan pihak manajemen dalam mengambil keputusan serta mencapai tujuan yang direncanakan perusahaan.  
            Pengembangan usaha yang dilakukan oleh perusahaan kecil dan menengah banyak menghadapi permasalahan, antara lain dalam bidang pemasaran, keuangan dan manajemen (Dodge dan Jhon, 1990, dan Allan, 1999; Barbara, et.al, 2000 dalam Syofian, 2006). Hal ini disebabkan perusahaan tidak memiliki informasi yang baik dari dalam usaha maupun dari luar usaha, misalnya kondisi pasar produk. Kemampuan untuk menjalankan sistem informasi akuntansi dalam perusahaan sangat tergantung pada kemampuan pemilik untuk menjalankan aktivitas teknis akuntansi (Theng dan Jasmine, 1996; Haron dan Bala, 1994 dalam Syofian, 2006).
Beberapa penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, menunjukkan bahwa praktek akuntansi perusahaan kecil di Indonesia belum berjalan dengan baik (antara lain Prakarsa, 1990; Kesuma, 1990; Suhairi, 2000; Philip, 1997 dalam syofian, 2006) mengungkapkan banyak kelemahan dalam praktek akuntansi pada perusahaan kecil. Kelemahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor pendidikan dan overload standar akuntansi yang dijadikan pedoman dalam penyusunan laporan keuangan (Williams et.al, 1989; Knutson dan Hendry, 1985; Nair dan Rittenberg, 1983; Wishon, 1985; Murray et.al, 1983; Kelly, 1982 dalam Syofian, 2006)
            Hasil penelitian yang dilakukan oleh Holmes dan Nicholls, (1989) menemukan variabel-variabel yang signifikan berpengaruh adalah ukuran bisnis (besar perusahaan, masa waktu manajemen memimpin bisnis, sektor industri dan pendidikan manajer dan pemilik). Sementara penelitian Murniati (2002) menemukan karakteristik pemilik atau manajer dan karakteristik perusahaan berpengaruh secara signifikan terhadap penyiapan informasi akuntansi pada usaha kecil dan menengah.
            Pengujian perbedaan tingkat kinerja SIA antara perusahaan yang memiliki dengan yang tidak memiliki Pendidikan dan Pelatihan Pengguna, Komite Pengendali SI, dan Lokasi Departemen SI, menunjukkan terdapat hubungan terbalik dimana kinerja SIA lebih tinggi dalam organisasi unit bisnis yang tidak mempunyai komite pengendali dibandingkan dengan organisasi atau unit bisnis yang mempunyai komite pengendali SI.
Hasil-hasil lainnya tidak signifikan, artinya tidak ada perbedaan signifikan dalam kepuasan pengguna dan penggunaan sistem antara perusahaan yang mempunyai dan tidak mempunyai program pendidikan dan pelatihan pengguna, dan departemen SI yang independen. Hasil-hasil ini konsisten dengan studi oleh DeLone (1988) dan Choe (1996), akan tetapi tidak konsisten dengan penelitian yang dilakukan oleh Nelson & Cheney (1987) dan Sanders & Courtney (1985) sebagaimana diuraikan dalam Soegiharto (2001). Berdasarkan pemaparan tersebut diperoleh gambaran bahwa pada penelitian Soegiharto (2001) didapati hasil-hasil yang mendukung maupun berlawanan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, atau dengan kata lain terdapat hubungan antara faktor-faktor pengaruh dengan keberhasilan implementasi dan kinerja SIA, akan tetapi pada beberapa hasil tidak dapat dikonklusikan dan terdapat hasil yang kontradiktif. 

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan diatas, maka diajukanlah penelitian ini yang bertujuan menganalis “Penggunaan Sistem Informasi Akuntansi yang berbasis komputer pada perusahaan kecil di kota Medan“ untuk berbagai ukuran dan berbagai kebutuhan dalam pengambilan keputusan, serta memberikan bukti empiris dalam penerapan sistem informasi akuntansi pada perusahaan kecil.

Selengkapnya...


Sunday, February 9, 2014

FAKTOR–FAKTOR YANG MEMPENGARUHI LUAS PENGUNGKAPAN DALAM LAPORAN KEUANGAN PERUSAHAAN MANUFAKTUR YANG TERDAFTAR DI BEI



BAB 1
PENDAHULUAN

A.                Latar Belakang Masalah
Berubahnya kondisi lingkungan ekonomi banyak berpengaruh pada dunia usaha. Untuk dapat lebih bersaing, perusahaan dihadapkan pada kondisi untuk dapat lebih transparan dalam mengungkapkan informasi perusahaanya, sehingga akan lebih membantu para pengambil keputusan dalam mengantisipasi kondisi yang semakin berubah. Untuk mengikuti perkembangan bisnis yang semakin komplek, diperlukan keseimbangan informasi yang sesuai dan memadai.  

1
 
Luas pengungkapan adalah informasi yang diungkapkan dalam laporan keuangan yang meliputi, yaitu pengungkapan wajib (Mandatory disclosure) dan pengungkapan sukarela ( Voluntary disclosure ). Pengungkapan wajib merupakan pengungkapan yang diharuskan oleh peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah peraturan yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (BAPEPAM), contohnya : dasar penyusunan laporan keuangan, perpajakan, sedangkan pengungkapan sukarela adalah pengungkapan yang melebihi dari yang diwajibkan. Pengungkapan sukarela merupakan pilihan bebas manajemen perusahaan untuk memberikan informasi akuntansi dan informasi lainya yang dipandang relevan untuk pengambilan keputusan oleh para pemakai laporan keuangannya, contohnya : penilaian kembali aktiva tetap, pos luar biasa, kondisi ekonomi (Meek, Roberts, and Gray dalam Irawan (2006)).
Pengungkapan (Disclosure) dalam laporan keuangan merupakan sumber informasi untuk pengambilan keputusan investasi. Keputusan investasi sangat tergantung dari mutu dan luas pengungkapan yang disajikan dalam laporan keuangan. Mutu dan luas pengungkapan laporan keuangan masing-masing berbeda. Perbedaan ini terjadi karena karakteristik dan filosofi manajemen masing-masing perusahaan juga berbeda. Selain digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan, disclosure (pengungkapan) dalam laporan keuangan juga digunakan sebagai sarana pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya. Agar Laporan keuangan yang sudah diperiksa oleh akuntan publik dapat menjadi dasar yang berguna bagi pengambilan keputusan, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan membuat kriteria perlunya luas pengungkapan (disclosure) yang dapat mencakup semua perusahaan publik
Pertimbangan manajemen perusahaan untuk mengungkapkan informasi secara luas dipengaruhi oleh faktor biaya dan manfaat. Manajemen akan mengungkapkan suatu informasi lebih luas apabila manfaat yang diperoleh lebih besar dibanding biayanya. Besarnya biaya dan manfaat pengungkapan informasi tertentu berbeda antara perusahaan yang satu dengan perusahaan yang lainnya. Oleh karena itu, biaya dan manfaat pengungkapan informasi kemungkinan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang akan mengakibatkan perbedaan luas pengungkapan dalam laporan keuangan perusahaan (Amalia, 2005).
Di sisi lain, laporan keuangan diharapkan mampu memberi informasi mengenai besarnya cost of debt (biaya hutang), biaya ekuitas, besarnya laba yang diperoleh suatu perusahaan, besarnya prosentase perubahan labanya, besarnya prosentase kepemilikan manajerial, besarnya shareholder’s equity (kepemilikan publik) perusahaan, dan ukuran perusahan. Penelitian mengenai luas pengungkapan dalam laporan keuangan suatu perusahaan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya merupakan hal yang penting untuk dilakukan. Penelitian semacam ini akan memberikan gambaran mengenai kondisi suatu perusahaan, serta memberikan gambaran tentang sifat perbedaan pengungkapan dalam laporan keuangan antar perusahaan dan faktor apa saja yang mempengaruhinya.
Besarnya laba yang diperoleh oleh suatu perusahaan adalah suatu perbedaan antara pendapatan yang direalisasi dari transaksi yang terjadi selama satu periode dengan biaya yang berkaitan dengan biaya tersebut, sedangkan prosentase perubahan laba merupakan prosentase antara selisih laba perusahaan periode waktu tertentu dengan laba perusahaan pada periode waktu sebelumnya dibagi laba perusahaan periode waktu sebelumnya. Laba dan prosentase perubahan laba ini oleh perusahaan dijadikan sebagai ukuran keberhasilan perusahaan dalam menjalankan aktivitas produksinya. Dalam melangsungkan kegiatan usahanya, perusahaan membutuhkan kegiatan manajemen agar tujuan perusahaan tercapai. Prosentase kepemilikan manajerial merupakan prosentase saham yang dimiliki oleh manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan suatu keputusan. Kelangsungan hidup suatu perusahaan juga dipengaruhi oleh besarnya modal yang ditanamkan di dalam perusahaan. Semakin besar modal yang ditanamkan maka harapan kelangsungan hidup perusahaan semakin baik. Oleh karena itu investasi para pemilik pada aset sebuah perusahaan sangatlah penting. Dalam perusahaan besarnya ditunjukkan oleh shareholder’s equity.. Perusahaan juga menggunakan hutang untuk membiayai kegiatan usahanya, sehingga dapat diketahui besarnya cost of debt yang menunjukkan biaya yang terkait dengan utang yang telah memperhitungkan dampak penghematan pajak akibat adanya beban bunga (Mirasari, 2006).
Cost of equity (biaya ekuitas) merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan yang memperoleh dana dengan menjual saham biasa atau menggunakan laba yang ditahan untuk investasi. Cost of equity dapat mengalami peningkatan secara internal dengan menahan laba atau secara eksternal dengan menjual atau mengeluarkan saham biasa baru. Perusahaan dapat membagikan laba setelah pajak yang diperoleh sebagai deviden atau menahannya dalam bentuk laba ditahan. Laba yang ditahan tersebut kemudian digunakan untuk investasi (reinvestasi) di dalam perusahaan. Laba ditahan yang digunakan untuk investasi kembali tersebut perlu diperhitungkan biaya modalnya (Amurwani, 2006), Ukuran perusahaan diharapkan berhubungan positif dengan luasnya tingkat pengungkapan. Perusahaan yang berukuran lebih besar cenderung memiliki public demand akan informasi yang lebih tinggi dibanding dengan perusahaan yang berukuran lebih kecil. Alasan lainya adalah bahwa perusahaan besar mempunyai biaya produksi informasi yang lebih rendah yang berkaitan dengan pengungkapan mereka atau biaya competitive disadvantage yang lebih rendah pula (Irawan, 2006).   
Penelitian sebelumnya adalah penelitian Verdiyana (2006) yang  berjudul variabel-variabel yang mempengaruhi luas pengungkapan pada perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ dengan kesimpulan bahwa tidak ada pengaruh antara cost of debt (biaya hutang), biaya ekuitas, laba, prosentase perubahan laba, prosentase kepemilikan manajerial, shareholder’s equity (kepemilikan publik) terhadap luas pengungkapan laporan keuangan perusahaan, namun secara individu hanya cost of debt (biaya hutang) saja yang berpengaruh terhadap laporan keuangan karena investor ingin mengetahui kondisi perusahaan yang sesungguhnya untuk membantunya dalam pengambilan keputusan.
Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari penelitian Renita Verdiyana (2006). Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah penambahan satu variabel yang mempengaruhi luas pengungkapan yaitu ukuran perusahaan dan tahun data penelitian yang digunakan. Penelitian sebelumnya menggunakan enam variabel yang mempengaruhi luas pengungkapan sedangkan pada penelitian ini menggunakan 7 variabel yang mempengaruhi luas pengungkapan dan tahun data yang digunakan pada penelitian sebelumnya adalah tahun 2002 – 2003 sedangkan pada penelitian ini tahun data yang digunakan adalah tahun 2004 – 2008.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka alasan peneliti mereplikasi penelitian ini dari penelitian sebelumnya adalah peneliti tertarik apakah dengan penambahan variabel yang mempengaruhi luas pengungkapan, fenomena yang telah diperoleh pada penelitian sebelumnya juga akan terjadi pada penelitian ini, sehingga judul penelitian ini adalah :  

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Luas Pengungkapan Dalam Laporan Keuangan Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di BEI”. 

Selengkapnya...



ANALISIS PERAN KOMUNIKASI SEBAGAI MODERASI ANTARA PARTISIPASI ANGGARAN DAN KINERJA MANAJERIAL



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ada banyak penelitian akuntansi manajemen yang menaruh perhatian pada masalah partisipasi dalam anggaran. Anggaran merupakan salah satu elemen penting dalam system pengendalian manajemen dan merupakan alat bantu manajemen dalam mengalokasikan sumber daya alam dan sumber daya dana yang dimiliki organisasi untuk mencapai tujuan. Oparton (2008) menyatakan bahwa anggaran bukan hanya rencana financial mengenai biaya dan pendapatan dalam satu pusat pertanggungjawaban, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengendalian, koordinasi, komunikasi, evaluasi kinerja serta motivasi. Sebagai alat perencanaan, anggaran merupakan kegiatan yang terdiri dari sejumlah target yang akan dicapai oleh manajer departemen suatu perusahaan dalam melaksanakan serangkaian aktifitas tertentu pada masa yang akan datang (Ikhsan dan Ane: 2007).
Pengaruh partisipasi anggaran merupakan tema menarik untuk dibahas dalam penelitian akuntansi manajemen. Sumarno (2005) dalam Fernando (2008) menyebutkan ada alasan  yang mendasarinya yakni : (a) partisipasi anggaran dinilai sebagai suatu pendekatan manajerial yang dapat meningkatkan kinerja organisasi, (b) sistem penganggaran merupakan suatu alat perencanaan dan pengendalian manajerial.
Untuk menghasilkan sebuah anggaran yang efektif, manajemen tingkat atas membutuhkan kemampuan untuk memprediksikan masa depan, dengan mempertimbangkan beberapa faktor, seperti faktor lingkungan, partisipasi dan gaya penyusunan. Proses penyusunan anggaran melibatkan banyak pihak mulai dari manajemen tingkat atas (top level management) sampai manajemen tingkat bawah (lower level management).
Partisipasi anggaran merupakan pendekatan yang secara umum dapat meningkatkan kinerja yang akhirnya dapat meningkatkan efektifitas organisasi. Nor (2007) menyatakan partisipasi merupakan alat untuk mencapai tujuan, partisipasi juga sebagai alat untuk mengintegrasikan kebutuhan individu dan organisasi. Sehingga partisipasi dapat diartikan sebagai pengaruh, pendelegasian prosedur-prosedur, keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan suatu pemberdayaan.
Partisipasi yang baik dapat membawa beberapa keuntungan sebagai berikut: (1) memberi pengaruh yang sehat terhadap adanya inisiatif, moralisme dan antusiasme; (2) memberikan suatu hasil yang lebih baik dari sebuah rencana karena adanya kombinasi penegetahuan dari beberapa individu; (3) dapat meningkatkan kerjasama antar departemen; dan (4) para karyawan dapat lebih menyadari situasi dimasa yang akan dating yang berkaitan dengan sasaran dan pertimbangan lain (Indriani,1993 dalam Nor, 2007). Hal ini mendukung pendapat Milani dalam Nor (2007) bahwa penyusunan anggaran secara partisipatif diharapkan dapat meningkatklan kinerja manajer, yaitu ketika suatu tujuan yang ditetapkan dan secara partisipasi disetujui maka karyawan akan mengimplementasikan tujuan yang ditetapkan dan memiliki rasa tanggung jawab pribadi untuk mencapainya, karena mereka ikut terlibat dalam penyusunan anggaran.
 
Masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan partisipasi anggaran dan kinerja telah diteliti secara luas, namun kebanyakan bukti-bukti empiris memberikan hasil yang lebih bervariasi dan tidak konsisten.  Misalnya Indriantoro dan Poerwati dalam Sumarno (2005) menemukan bahwa partisipasi penganggaran dan kinerja memiliki hubungan yang sangat positif. Sedangkan peneliti lain Milani dalam Nor (2007) menemukan bahwa partisipasi penganggaran tidak dapat  meningkatkan kinerja.
Dari hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, menunjukan hasil temuan mereka tidak konsisten antara satu dengan yang lainnya, sehingga para peneliti menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung yang sederhana antara partisipasi dan kinerja. Govindarajan dalam Nor (2007) mengungkapkan bahwa pendekatan kontijensi dapat digunakan untuk menyelesaikan perbedaan dari berbagai penelititan tersebut. Pendekatan kontijensi memungkinkan adanya  variabel  lain yang dapat bertindak sebagai faktor moderating yang mempengaruhi hubungan partisipasi anggaran dengan kinerja manajerial seperti komunikasi. Shield dan Young dalam Fernando (2008).    
 Peran komunikasi merupakan variabel yang memegang peranan penting dalam hubungan partisipasi angaran dan kinerja manajerial Komunikasi dapat disimpulkan sebagai perkatan, suatu proses pemindahan atau penyampaian gagasan, harapan, peringatan, dan pesan yang disampaikan melalui proses  yang mengandung arti untuk membuat seseorang mengerti Pada umumnya setiap organisasi pasti mempunyai tujuan yang akan diwujudkan dalam organisasi. Berhasil atau tidaknya pencapaian tujuan tersebut didukung oleh adanya komunikasi yang baik dan lancar sehingga dapat meningkatkan semangat dan kepuasan kerja serta akhirnya kinerja karyawan juga meningkat. Meskipun semua organisasi melakukan komunikasi dengan berbagai pihak dalam mencapai tujuannya, namun perlu diketahui bahwa pendekatan yang dipakai antara satu organisasi dengan organisasi lainnya dapat berbeda-beda dan bervariasi. Bagi perusahaan berskala kecil yang hanya memiliki beberapa karyawan maka penyampaian informasi dapat dilakukan secara langsung, namun bagi perusahaan besar yang memiliki ribuan karyawan, maka penyampaian informasi kepada mereka merupakan suatu pekerjaan yang cukup rumit.
Dengan adanya komunikasi yang efektif suatu perusahaan dapat berjalan dengan lancar dan begitu pula sebaliknya, kurang atau tidaknya komunikasi akan berakibat buruk bagi perusahaan. Kadang-kadang penyebab rusaknya hubungan antara individu dalam suatu organisasi, misalnya antara manajer dan karyawan atau di antara karyawan itu sendiri adalah adanya miskomunikasi yang terjadi. Oleh karena itu untuk bisa berkomunikasi dengan baik dibutuhkan keterampilan ataupun kemampuan dasar untuk mengirim atau menguraikan pesan secara akurat dan efektif, untuk memperlancar dan memahami cara terbaik dalam penyebaran informasi dalam sebuah organisasi, serta untuk memahami tindakan-tindakan seseorang sebagai manajer.
Dalam penelitian ini, peneliti memilih PT. Superchemie Indonesia sebagai tempat meneliti karena PT. Superchemie ini memiliki struktur organisasi perusahaan yang cukup jelas, yang mana setiap karyawannya mempunyai tugas dan tanggung jawab masing-masing. Oleh karena itu peneliti ingin menganalisis peran komunikasi sebagai moderasi antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial dalam perusahaan ini sehingga tujuan perusahaan dapat tercapai dan terjalin hubungan yang baik antara manajer dan sesama karyawan. Penelitian sebelumnya belum pernah ada yang memakai komunikasi sebagai variabel moderasi

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti ingin mengetahui apakah komunikasi memang berperan sebagai moderasi antara partisipasi anggaran dan kinerja manajerial pada penelitian ini.   Oleh karena itu, penulis berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul  “Analisis Peran Komunikasi Sebagai Moderasi Antara Partisipasi Anggaran dan Kinerja Manajerial”

Selengkapnya...




Saturday, February 8, 2014

PERSEPSI MAHASISWA AKUNTANSI MENGENAI LINGKUNGAN KERJA AUDITOR TERHADAP PILIHAN KARIRNYA SEBAGAI AUDITOR


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pemilihan karir merupakan suatu proses dari individu sebagai usaha mempersiapkan diri untuk memasuki tahapan yang berhubungan dengan pekerjaan. Pemilihan karir melalui suatu  rangkaian  proses kegiatan yang terarah dan sistematis, sehingga setiap individu akan selalu mempertimbangkan segala potensi, bakat/minat, kecerdasan maupun harapan yang akan dicapainya. Hal ini perlu dilakukan agar karir yang akan dipilih untuk digeluti tidak akan menimbulkan penyesalan dan kesulitan di kemudian hari.
Seseorang mencari karir yang dapat memberinya kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan  kemampuannya serta mengekspresikan sikap dan nilai hidupnya. Seseorang akan merasa cocok dengan pilihan karirnya jika pilihan tersebut dapat memenuhi apa yang dia inginkan dengan minat serta kemampuan yang dimilikinya.
Ada berbagai macam alternatif atau pilihan profesi dalam bidang akuntansi, salah satunya auditor. Auditor merupakan profesi akuntansi yang berkaitan dengan penyediaan jasa audit atau pemeriksaan keuangan. Dalam melaksanakan audit, auditor mereview laporan keuangan historis klien dan memberikan pendapat profesional mengenai kewajaran penyajian laporan tersebut.
Dalam konteks profesi di bidang bisnis, bersama-sama dengan bidang  profesional lainnya, auditor mempunyai peran yang signifikan.
Menurut Boynton, dkk (2002:4) :
“Sebagai lapangan pekerjaan, auditing menawarkan peluang untuk suatu karir yang menantang dan dihargai dalam bidang akuntansi publik, industri, dan pemerintahan.”

Selain memiliki peran yang signifikan di bidang bisnis, profesi auditor memiliki persepsi negatif yang berkaitan dengan lingkungan pekerjaannya. Kantor akuntan publik sebagai lingkungan dari pekerjaan auditor, telah lama dikenal memiliki tingkat turn over staf yang tinggi. Keadaan tersebut umumnya terjadi pada staf yang baru masuk, sangat tidak umum bagi suatu perusahaan kehilangan sebagian pegawai barunya pada akhir tahun kedua pegawai tersebut bekerja (Agustiningsih, 2005).
Dalam penelitian Rhode, dkk (1977) penyebab turn over staf dalam profesi auditor yaitu, konflik antara pekerjaan dan kehidupan keluarga, terlalu banyak waktu yang tersita untuk pekerjaan, ketidakmampuan individu yang bersangkutan untuk menggunakan bakat dan kemampuannya.
Dalam penelitian Carcello, dkk (1991) mengindikasikan empat karateristik profesi auditor yang dapat menimbulkan kurangnya minat mahasiswa akuntansi untuk memilih karir sebagai auditor atau menyebabkan mereka yang sudah memilih auditor sebagai karir menjadi tidak puas yaitu, overtime, deadlines/budgets yang tidak realistis, stres/tekanan pekerjaan, serta politik perusahaan.
Accounting Education Change Commission Amerika Serikat (1993) menyatakan bahwa banyak lulusan akuntansi yang baru bekerja dalam profesi auditor menghadapi masalah tentang waktu kerja yang tidak dapat diantisipasi, deadline, anggaran, stres kerja dan balas jasa kurang dari yang diharapkan. Hal ini menyebabkan minat mereka untuk berkarir dalam profesi auditor berkurang.
Adanya informasi negatif mengenai lingkungan kerja auditor mungkin dapat mengurangi minat mahasiswa untuk memilih karir sebagai auditor dan mengalihkan pilihan karirnya pada profesi yang lain. Dengan demikian, hal ini berarti profesi auditor dapat kehilangan calon-calon auditor yang berkualitas dan nantinya akan menjadi penerus seniornya.
Penelitian ini merupakan penelitian replikasi dari penelitian Agustiningsih (2005). Perbedaan penelitian  ini dengan penelitian sebelumnya yaitu lokasi dan sampel penelitian. Penelitian sebelumnya dilakukan pada mahasiswa S-1 akuntansi Universitas Padjajaran dengan sampel mahasiswa akuntansi yang telah mengambil mata kuliah auditing dan EDP audit tahun akademik 2005-2006.  Menurut Agustiningsih (2005) lingkungan kerja auditor diindikasikan oleh tiga dimensi yang dinilai cukup meliputi berbagai isu yang relevan dengan dunia akuntansi publik (auditing) yaitu job duties and responsibilitie; advancement training and supervision; personal concerns. Agustiningsih (2005) menyimpulkan bahwa persepsi mahasiswa mengenai lingkungan kerja auditor mempunyai pengaruh positif dan sangat kuat terhadap pemilihan karir mahasiswa akuntansi sebagai auditor.
Handayani (2005) meneliti pengaruh persepsi mahasiswa akuntansi mengenai lingkungan kerja auditor terhadap pilihan karirnya sebagai auditor dengan menggunakan sampel mahasiswa akuntansi Univesitas Widyatama Bandung. Menurut Handayani (2005) lingkungan kerja auditor diindikasikan oleh tiga dimensi yang dinilai cukup meliputi berbagai isu yang relevan dengan dunia akuntansi publik (auditing) yaitu job duties and responsibilitie; advancement training and supervision; personal concerns. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mahasiswa memiliki persepsi yang positif terhadap lingkungan kerja auditor dan mereka cenderung memilih auditor sebagai pilihan karirnya jika lulus nanti.
Dengan adanya fenomena di atas, maka sangatlah menarik untuk mengetahui bagaimana persepsi mahasiswa akuntansi mengenai lingkungan kerja auditor dan bagaimana pilihan karirnya sebagai auditor kepada mahasiswa akuntansi di Universitas Negeri Medan, yang hasilnya dapat dijadikan sebagai perbandingan dengan penelitian terdahulu.

Dari beberapa uraian di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti mengenai “Persepsi Mahasiswa Akuntansi Mengenai Lingkungan Kerja Auditor Terhadap Pilihan Karirnya Sebagai Auditor(Studi Empiris Pada Mahasiswa Akuntansi Pada Perguruan Tinggi Di Medan).

Selengkapnya...
Download